Dikisahkan, ada seorang pedagang yang kaya raya dan berpengaruh di
kalangan masyarakat. Kegiatannya berdagang mengharuskan dia sering
keluar kota. Suatu saat, karena pergaulan yang salah, dia mulai berjudi
dan bertaruh.
Mula-mula kecil-kecilan, tetapi karena tidak dapat
menahan nafsu untuk menang dan mengembalikan kekalahannya, si pedagang
semakin gelap mata, dan akhirnya uang hasil jerih payahnya selama ini
banyak terkuras di meja judi. Istri dan anak-anaknya terlantar dan
mereka jatuh miskin.
Orang luar tidak ada yang tahu tentang
kebiasaannya berjudi, maka untuk menutupi hal tersebut, dia mulai
menyebar fitnah, bahwa kebangkrutannya karena orang kepercayaan,
sahabatnya, mengkhianati dia dan menggelapkan banyak uangnya. Kabar itu
semakin hari semakin menyebar, sehingga sahabat yang setia itu, jatuh
sakit. Mereka sekeluarga sangat menderita, disorot dengan pandangan
curiga oleh masyarakat di sekitarnya dan dikucilkan dari pergaulan.
Si
pedagang tidak pernah mengira, dampak perbuatannya demikian buruk. Dia
bergegas datang menengok sekaligus memohon maaf kepada si sahabat
“Sobat, aku mengaku salah! Tidak seharusnya aku menimpakan perbuatan
burukku dengan menyebar fitnah kepadamu. Sungguh, aku menyesal dan minta
maaf. Apakah ada yang bisa aku kerjakan untuk menebus kesalahan yang
telah kuperbuat?”
Dengan kondisi yang semakin lemah, si sahabat
berkata, “Ada dua permintaanku. Pertama, tolong ambillah bantal dan
bawalah ke atap rumah. Sesampainya di sana, ambillah kapas dari dalam
bantal dan sebarkan keluar sedikit demi sedikit.”
Walaupun tidak
mengerti apa arti permintaan yang aneh itu, demi menebus dosa, segera
dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kapas habis disebar, dia
kembali menemui laki-laki yang sekarat itu.
“Permintaanmu telah aku lakukan, apa permintaanmu yang kedua?”
“Sekarang, kumpulkan kapas-kapas yang telah kau sebarkan tadi,” kata si sahabat dengan suara yang semakin lemah.
Si
pedagang terdiam sejenak dan menjawab dengan sedih, “Maaf sobat, aku
tidak sanggup mengabulkan permintaanmu ini. Kapas-kapas telah menyebar
ke mana-mana, tidak mungkin bisa dikumpulkan lagi.”
“Begitu juga
dengan berita bohong yang telah kau sebarkan, berita itu takkan berakhir
hanya dengan permintaan maaf dan penyesalanmu saja,” kata si sakit.
“Aku
tahu. Engkau sungguh sahabat sejatiku. Walaupun aku telah berbuat salah
yang begitu besar tetapi engkau tetap mau memberi pelajaran yang sangat
berharga bagi diriku. Aku bersumpah, akan berusaha semampuku untuk
memperbaiki kerusakan yang telah kuperbuat, sekali lagi maafkan aku dan
terima kasih sobat.” Dengan suara terbata-bata dan berlinang air mata,
dipeluklah sahabatnya.
Netter yang luar biasa.…
Seperti kata
pepatah mengatakan, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kebohongan
tidak berakhir dengan penyesalan dan permintaan maaf. Seringkali sulit
bagi kita untuk menerima kesalahan yang telah kita perbuat. Bila
mungkin, orang lainlah yang menanggung akibat kesalahan kita.
Kalau
memang itu yang akan terjadi, lalu untuk apa melakukan fitnah yang
hanya membuat orang lain menderita. Tentu… jauh lebih nikmat bisa
melakukan sesuatu yang membuat orang lain berbahagia.
sumber : http://usahatasiman.blogspot.com/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment