Sebagai seorang rapper, di awal
keislamannya, Abd al-Malik sempat kalut saat mendengar Islam tak sejalan
dengan seni musik yang dipilihnya. Dalam otobiografinya yang berjudul
Sufi Rapper (2009), Abd al-Malik mengatakan budaya rap Prancis lahir
dalam konteks rasisme dan xenofobia (ketakutan berlebihan pada orang
asing) yang meluas.
Ia hidup di sebuah ghetto (lingkungan
tempat tinggal para kaum imigran minoritas) di Prancis.
“Saat aku masih
sekolah, aku sering melihat politisi berkata ‘Kita semua adalah
Prancis,’ tapi aku tak pernah melihat seorang pria kulit hitam pun di
televisi. Tak ada politisi Prancis yang berkulit hitam,” katanya.
Ia masih ingat betapa ia mengecam
kurangnya kesempatan bagi anak-anak imigran, juga iklim kemiskinan dan
kejahatan di tempat tinggalnya. Hal itu semakin diperparah diskriminasi
yang terjadi dalam berbagai hal, juga pelecehan yang dilakukan para
polisi. Karena itu, ketika mulai populer pada 1990-an, musik rap
dikritisi sebagai seni yang mengagungkan kekerasan dan mempertinggi
ketegangan rasial.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Regis. Dilahirkan di Paris pada 14 Maret 1975 dengan nama Régis Fayette-Mikano
. Pada 1977, Regis kecil yang berdarah Kongo dibawa orang tuanya
kembali ke negara asalnya dan tinggal di Brazzaville (ibukota sekaligus
kota terbesar di Republik Kongo). Régis menghabiskan masa kecilnya di
sana, sebelum akhirnya ia dan keluarganya kembali ke Prancis dan menetap
di distrik ghetto bernama Neuhof (selatan Kota Strasbourg) pada 1981.
Saat Regis memasuki usia remaja, ayahnya
pergi meninggalkan rumah. Sejak itu, ibunya harus berjuang seorang diri
membesarkan dan mendidik Regis orang anaknya. Dan sejak itu pula, Regis
mulai tumbuh menjadi penjahat kecil.
Di lingkungan barunya yang keras, tanpa
sosok ayah, Regis belajar memenuhi keterbatasan dan kekurangan yang
didapatinya di rumah. Dari kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukannya,
ia terus tumbuh menjadi penjahat yang berhasil membangun dominasi
bersama beberapa temannya.
Ia menjambret dan mencuri mobil, demi
untuk menghasilkan uang yang tidak bisa diperolehnya dari rumah. Dalam
kondisi itu, Regis menjalani tiga peran kehidupan sekaligus. Ia adalah
seorang seorang anak yang berjuang mempertahankan hidup keluarganya,
siswa yang berprestasi di sekolah, serta penjahat jalanan yang lihai.
Regis pun memilih musik rap untuk
menyalurkan frustasinya, juga bercerita dan menyampaikan kritik sosial
atas semua yang dialaminya. Terinspirasi rap Amerika pada tahun 1980-an,
Abd al-Malik bergabung dengan saudara dan sekelompok temannya dan
menciptakan New African Poets, disingkat NAP.
Di tengah kekritisannya, Régis terpikat
pada gerakan Black Power dan mengidolakan Malcolm X sebagai seorang
pahlawan Muslim kulit hitam yang telah berani menentang ketidakadilan.
Baginya dan sejumlah pemuda imigran di Prancis kala itu, Islam
menawarkan sebuah identitas yang menantang.
Pengetahuan tentang Islam diperolehnya
dari para dai Islam yang berceramah di jalan-jalan. Pada usianya yang
ke-16, Regis memutuskan memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abd
al Malik. Selama beberapa tahun setelahnya, bersama para Muslim
tersebut, ia berkeliling Prancis untuk menyeru pria-pria muda agar pergi
ke masjid, menumbuhkan dan memanjangkan jenggot, serta berhenti meminum
alkohol dan mengkonsumsi narkoba.
Beberapa lama terlibat, Abd al Malik
melihat ajaran yang populer di ghetto-ghetto Prancis itu bukan sesuatu
yang secara eksplisit keras. Namun, katanya dalam Sufi Rapper, ajaran
tersebut secara fanatik mendorong para imigran muda untuk mencerca
segala sesuatu yang sekular, modern, dan kebarat-baratan. “Dan itu
justru memperdalam rasa keterasingan kami,” ujarnya.
Di situlah ia kembali menemukan gejolak
dalam batinnya. Sebagai remaja, Abd al Malik merasakan ketulusan dan
semangatnya pada Islam sama besarnya dengan hasratnya pada rap, sebuah
seni yang harus ia cerca dan jauhi. “Karena rap adalah musik modern, dan
ia kebarat-baratan.”
Abd al Malik terjebak dalam paradoks itu
hingga beberapa tahun. “Itu menyakitkan,” katanya. Perasaan sakit itu
semakin menjadi karena ia membiayai musiknya dengan melakukan kejahatan
dan menjadi pengedar narkoba. “Perbuatan-perbuatan itu sangat tidak
agamis.”
Hingga pada akhirnya, suatu hari, Abd al
Malik pergi ke seorang pemimpin penjahat lokal dan meminta pinjaman.
Setelah itu, sambil memegang sebuah kantong sampah penuh uang, Abd al
Malik terduduk dan menangis seorang diri di apartemennya.
Kekacauan batin itu mendorongnya untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang keimanannya. Dalam
pencarian itu, ia memperoleh jawaban dari tasawuf, cabang sufisme Islam
yang kontemplatif.
Ia menemui seorang guru spiritual dari
Afrika Utara yang mengajarkannya bahwa inti agama adalah cinta dan
kesadaran akan sifat rohani setiap manusia. “Maka, Islam adalah agama
cinta. Islam adalah berdamai dengan dirimu dan orang lain,” katanya.
Ia sampai pada satu kesimpulan, bahwa
memposisikan Islam sebagai agama kelompok minoritas sama dengan menjadi
minoritas dalam Islam itu sendiri. “Dan itu bukanlah Islam yang
sesungguhnya.”
Pergeseran pola pikir itu memperluas
pandangan Abd al Malik tentang musik rap dan perannya melalui seni
tersebut. Ia mulai menulis lagu untuk album solonya, dengan mengusung
pesan yang menyerukan pemahaman antar ras. Salah satu lagunya, “12
September 2001,” adalah permohonan untuk memisahkan politik dan agama.
Sebuah lagu lainnya, “God Bless France,” menggambarkan evolusi
pribadinya dari kebencian pada patriotisme.
Dalam otobiografinya, Abd al Malik
menuliskan bahwa dalam musiknya, ia hanya berupaya menerjemahkan bahasa
hati. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan rap keras dan mulai
berkolaborasi dengan berbagai musisi untuk mengembangkan sebuah suara
baru yang mencampurkan musik jaz, nyanyian, dan puisi kecaman yang
estetis.
Ketika para rapper lain terus menciptakan
‘musik amarah’ dan–beberapa diantaranya–dituduh menghasut kekerasan,
Abd al Malik tetap dengan pilihannya. Alih-alih mengkritik sistem
Prancis, Abd al Malik mendorong negaranya untuk hidup sesuai dengan
cita-cita demokrasi. Melalui musiknya yang telah meraih berbagai
penghargaan, ia menunjukkan bahwa Muslim tak harus menjauhi hal-hal
modern. “Terlebih jika kita bisa berbuat sesuatu dengan itu.”
sumber : http://kisahmuallaf.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment