Lebih dari 30 tahun berkarir, Metsu
bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia pernah bermain di klub papan
bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille dan Anderlecht.
Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian
Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence
. Sebelum menangani Senegal, ia
sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.
Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan
berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal,
menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan. Semua orang
menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ”Mestinya,
sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah,
toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,” katanya.
Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu
berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan
dengan pendekatan hirarkis dan militeristik, melainkan dengan pola
keterbukaan dan saling menyayangi. Kepada para pemain, berkali-kali ia
menegaskan, ”Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas
mengekspresikan apa saja.”
Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling
ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para
pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional. Dalam
menumbuhkan motivasi, disiplin dan tanggungjawab, dia tidak pernah
melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apapun
persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.
Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri
Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap
benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28
Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ”Ada suatu misteri,
nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudha
hilang di Eropa,” katanya.
Di Afrika, menurutnya, pintu selalu
terbuka. Di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya
masalah. Sementara di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk
menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat
menyetuh Metsu. ”Aku ini kulit putih berhati negro,” tukasnya bangga.
Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika
ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002 silam. Asal
tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam.
Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.
Abdul Karim sendiri memang tak pernah
mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Baginya, agama adalah masalah
privasi. Dia tak ingin mengumbar privasinya di depan publik.
Kini, ia hidup tenteram bersama istrinya,
seorang perempuan Senegal bernama Rokhaya Daba Ndiaye. Mereka menikah
dengan uang tunai 6 ribu euro sebagai mas kawin.
Rokhaya, bersama isteri para pemain
Senegal, selalu setia memberi semangat pada tim nasional setiap kali
mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan
dan Jepang. Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para
pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru
menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel
yang sama dimana mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.
Usai mengukir prestasi di Piala Dunia
2002, sejumlah klub dan negara berebut meminangnya. Kini ia dipercaya
oleh Federasi Sepak Bola Qatar (QFF) untuk melatih tim nasional Qatar
hingga 2014 mendatang. Dengan capaian prestasi yang pernah ia torehkan
saat mengarsiteki tim nasional Senegal, tak mengherankan jika publik
Qatar menaruh harapan besar pada diri Abdul Karim untuk mewujudkan
impian lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil. (rol)
sumber : http://kisahmuallaf.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment