Assalamu’alaikum wr wb.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang
kami hormati. Setiap bulan Rabiul Awal, umat Islam di berbagai belahan
dunia, khususnya umat Islam Indonesia, merayakan hari kelahiran Nabi saw
yang diisi dengan aneka ragam kebajikan dan sedekah. Pada saat yang
sama, ada juga sebagian kecil umat Islam, setiap bulan Rabiul Awal tiba,
menyebarkan isu bahwa merayakan maulid Nabi saw hukumnya bid’ah
tercela, haram dan dilarang agama, karena Nabi saw tidak pernah
merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara
tegas menganjurkan umat Islam agar merayakan Maulid Nabi saw. Ustadz
yang kami hormati, bagaimana sebenarnya hukum merayakan Maulid Nabi saw
menurut para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Terima kasih atas
jawabannya. Wassalam.
Wa’alaikumussalam wr wb.
Saudara penanya –semoga dimuliakan
Allah-. Pernyataan sebagian kelompok kecil bahwa merayakan hari
kelahiran Nabi saw adalah bid’ah tercela dan haram, dengan alasan Nabi
saw tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang
menganjurkan, adalah keliru dan tidak benar berdasarkan alasan-alasan
berikut ini:
Pertama, merayakan Maulid Nabi
saw, bukan termasuk bid’ah tercela dan haram, bahkan termasuk bid’ah
hasanah dan dianjurkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para
ulama dari berbagai madzhab dan kalangan, termasuk para ulama ahli
hadits. Al-Imam al-Hafizh Abu Syamah al-Maqdisi, guru al-Imam al-Nawawi,
berkata dalam kitabnya al-‘Baits fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits sebagai berikut:
أَفْضَلُ ذِكْرَى فِيْ
أَيَّامِنَا هِيَ ذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ. فَفِيْ هَذَا
الْيَوْمِ يُكْثِرُ النَّاسُ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَيَزِيْدُوْنِ فِي
الْعِبَادَاتِ وَيُبْدُوْنَ كَثِيْراً مِنَ الْمَحَبَّةِ لِلنَّبِيِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَحْمَدُوْنَ اللهَ تَعَالىَ كَثِيْراً بِأَنْ
أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ رَسُوْلَهُ لِيَحْفَظَهُمْ عَلىَ سُنَّةِ
وَشَرِيْعَةِ اْلإِسْلاَمِ.
“Peringatan paling utama pada masa
sekarang adalah peringatan Maulid Nabi saw. Pada hari tersebut, manusia
memperbanyak mengeluarkan sedekah, meningkatkan aktifitas ibadah,
mengekspresikan kecintaan kepada Nabi saw secara maksimal, memuji Allah
Subhanahu wata’ala dengan lebih meriah karena telah mengutus Rasul-Nya
kepada mereka untuk menjaga mereka di atas Sunnah dan Syariat Islam.”
Demikian pernyataan Al-Imam Abu Syamah dalam kitabnya al-Ba’its fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits. Kitab ini sangat dikagumi oleh kaum Salafi-Wahabi yang anti Maulid, karena pandangannya dalam persoalan bid’ah.
Kedua, seandainya Nabi saw memang
tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih
yang secara tekstual menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak
serta merta menjadi alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela. Dalam hal ini masih
harus melihat dalil-dalil agama yang lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan
pemahaman secara kontekstual terhadap dalil-dalil syar’i. Oleh karena
itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi saw tidak pernah merayakan
Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan
Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari berbagai madzhab tetap
menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid Nabi saw, berdasarkan
pemahaman secara kontekstual (istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits.
Ketiga, di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan Maulid adalah ayat berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107).
Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan bahwa dirinya merupakan rahmat Allah yang dipersembahkan kepada umat Islam. (HR. al-Hakim, dalam al-Mustadrak
1/83). Ayat al-Qur’an dan hadits di atas, merupakan penegasan bahwa
Rasulullah saw adalah rahmat bagi semesta alam. Sementara dalam ayat
yang lain, Allah juga memerintahkan untuk bergembira dengan rahmat
tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا (58)
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Ayat di atas memerintahkan kita agar
bergembira dengan karunia Allah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada
kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: “Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur 7/668). Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman tentang Nabi Isa AS:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا
وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (114)
“Isa putra Maryam berdoa: “Ya Tuhan
kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang
hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang
yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi
kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang
Paling Utama”. (QS. al-Maidah : 114).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan bahwa turunnya hidangan dari langit yang dimohonkan oleh Nabi Isa ‘Alaihissalam, layak dijadikan hari raya bagi para pengikut Isa AS. Sudah barang tentu, lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
lebih utama dari pada turunnya hidangan dari langit tersebut. Apabila
turunnya hidangan dari langit tersebut layak menjadi hari raya bagi
pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam, tentu saja lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
lebih layak lagi menjadi hari raya bagi umatnya yang dirayakan dalam
setiap tahun. Pemahaman kontenkstual semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih
disebut dengan Qiyas Aula.
Keempat, selain didasarkan kepada dua ayat di atas, perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga didasarkan pada hadits-hadits shahih. Antara lain hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « مَا هَذَا
الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ
أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ
فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى
بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, kaum
Yahudi sedang berpuasa Asyura. Rasulullah saw bertanya: “Hari apa kalian
berpuasa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan
Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa
karena bersyukur kepada Allah, maka kami juga berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari
pada kalian.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan
memerintahkan umatnya berpuasa.” (HR. Muslim).
Dalam hadits shahih di atas, selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Raja Fir’aun, serta tenggalamnya Fir’aun dan kaumnya, telah dijadikan momentum oleh Nabi Musa ‘alaihissalam
dan kaumnya untuk dirayakan setiap tahun dengan cara berpuasa. Lalu
Nabi saw membenarkan puasa tersebut, dan bahkan beliau melakukan dan
memerintahkan umat Islam agar berpuasa pada hari Asyura setiap tahun.
Sudah barang tentu, lahirnya Nabi saw lebih utama untuk dijadikan
momentum sebagai hari raya, dalam setiap tahun, karena derajat beliau
yang lebih mulia dan lebih utama dari pada nabi-nabi yang lain termasuk
Nabi Musa ‘alaihissalam. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
“فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ
فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلىَ مَا مَنَّ بِهِ فِيْ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ
إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ، أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِيْ نَظِيْرِ
ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلَّ سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ
الْعِبَادَةِ… وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ
بِبُرُوْزِ هَذاَ النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ
وَآَلِهِ وَسَلَّمَ”.
“Dari hadits tersebut dapat diambil
kesimpulan tentang perbuatan bersyukur kepada Allah karena karunianya
pada hari tertentu berupa datangnya kenikmatan atau tertolaknya
malapetaka, dan perbuatan syukur tersebut diulangi pada hari yang sama
dalam setiap tahunnya. Bersyukur dapat terlaksana dengan beragam ibadah…
Kenikmatan apa yang kiranya lebih agung dari pada kenikmatan dengan
lahirnya Nabi pembawa rahmat shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pemahaman kontekstual semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih, disebut dengan Qiyas Aula, dimana hukum yang dianalogikan lebih kuat dari pada hukum asal yang menjadi patokan analogi. Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (jua 21 hal. 207), menganggap bahwa hukum yang disimpulkan dari pemahaman kontekstual (mafhum) melalui Qiyas Aula, lebih kuat dari pada hukum yang diambil pemahaman tekstualnya (manthuq). Menurutnya, penolakan terhadap hukum yang dihasilkan melalui Qiyas Aula, termasuk bid’ah kaum literalis (zhahiriyah) yang tercela.
Kesimpulan.
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
termasuk bid’ah hasanah yang dianjurkan dalam agama berdasarka
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Sedangkan pendapat
sebagian kalangan, yang menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
termasuk bid’ah tercela dan haram, adalah keliru dan memandang
persoalan dari perspektif yang sempit dan terbatas. Syaikh Ibnu Taimiyah
berkata:
“Mengagungkan maulid dan
menjadikannya sebagai tradisi, pahalanya agung, karena tujuannya baik
dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621).
Wallahu a’lam.
sumber : http://www.idrusramli.com/
0 comments:
Post a Comment