Syeikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1885-1944 M) pendiri Jama’ah
Tabligh dilahirkan di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar
Prades, India. Ia adalah pengikut tariqat Chistiyyah dari cabang
Sabiriyyah, namun ia tidak bergantung kepada ajaran tariqat ini saja
melainkan turut memanfaatkan ajaran dari tariqat lain seperti
Naqshabandiyyah, Qadiriyyah dan Suhrawardiyyah. Ayahnya bernama Syaikh
Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniwan besar dan seorang penganut
tasawwuf yang sangat abid dan zahid. Dia telah mengabdikan hidupnya
dalam ibadah dan tidak lagi terlalu disibukkan dengan urusan dunia yang
suka menjalani hidup dengan ber-uzhlah, berkhalwat dan beribadah,
membaca Alquran serta mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Ibunya
bernama Shafiyah Al-Hafidzah adalah seorang Hafidzah Alquran. Keluarga
Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama. Saudaranya
antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya.
Pada tahun 1351 H/1931 M, ia menunaikan haji yang ketiga ke Tanah
Suci Makkah. Kesempatan
tersebut dipergunakan untuk menemui tokoh-tokoh
India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah. Sepulang dari
haji, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai
jamaah dengan jumlah sekitar seratus orang. Dalam kunjungan tersebut ia
selalu membentuk jamaah-jamaah yang dikirim ke kampung-kampung untuk
ber-jaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan
pentingnya agama. Ia sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta
hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber
kerusakan.
Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, ia pulang ke rahmatullah
sebelum adzan Shubuh. Ia tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan
tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran ia dituang dalam
lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani
dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan
seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Sepeninggal Syeikh
Muhammad Ilyas Kandahlawi kepemimpinan JT diteruskan oleh puteranya,
Syeikh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917 – 1965 M).
Jama’ah Tabligh muncul di India dilatarbelakanngi keadaan umat Islam
India yang saat itu sedang mengalami kerusakah akidah, dan degradasi
moral yang dahsyat. Ummat Islam telah tidak akrab lagi dengan
syiar-syiar Islam. Di samping itu, juga terjadi pencampuran antara yang
baik dan yang buruk, antara iman dan syirik, antara sunnah dan bid’ah.
Lebih dari itu, juga telah terlah terjadi gelombang pemusyrikan dan
pemurtadan yang didalangi oleh para misionaris Kristen di mana Inggris
saat itu sedang bercokol menjajah India.
Gerakan misionaris yang didukung Inggris dengan dana yang sangat
besar berusaha membolak-balikkan kebenaran Islam, dengan menghujat
ajaran-ajarannya dan mendiskreditkan Rasulullah saw. Bagaimana
membendung kristenisasi dan mengembalikan kaum Muslimin yang “lepas” ke
dalam pangkuan Islam? Itulah yang menjadi kegelisahan Muhammad Ilyas.
Maulana Muhammad Ilyas menghawatirkan kondisi umat, khususnya di
daerah Mewat yang semakin jauh dari nilai-nilai Islam dan mengarah
kepada kondisi masyarakat jahiliah yang ditandai antara dengan:
Kemusyrikan
Meninggalkan ibadah
Mesjid tidak lagi berfungsi sebagai pusat dakwah dan agama
Kerusakan akhlak
Perbuatan maksiat yang semakin menyebar
Hal ini kemudian menguatkan i‘tikadnya untuk berdakwah yang kemudian
diwujudkannya dengan membentuk gerakan jama’ah pada tahun 1927 yang
bertujuan untuk mengembalikan masyarakat dalam ajaran Islam. Guna menata
kegiatan jama’ah ini dibentuklah suatu garis kerja dakwah jama’ah yang
disebut hirarki, yang berbeda dari organisasi dakwah lainnya, yang
kemudian dikenal dengan gerakan Jama’ah Tabligh.
Dalam Jamaah ini dikenal enam prinsip (doktrin) yang menjadi asas dakwahnya, yaitu:
Kalimah agung (syahadat) atau disebut sebagai Kalimah Ţayyibah.
Menegakkan salât.
Ilmu dan dzikir.
Memuliakan setiap Muslim.
Ikhlas.
Berjuang fisabilillah (keluar/khuruj).
Sejarah awal masuknya Jama’ah Tabligh ke Indonesia terdiri dari dua
versi. Versi pertama: menurut Letkol CPM Purn. Ahmad Zulfakar, Jama’ah
Tabligh dibawa oleh seorang amir bernama Miaji Isa pada tahun 1952 di
Jakarta dan berkembang pada tahun 1974 di Kebon Jeruk. Kemudian
berkembang luas ke penjuru nusantara. Versi kedua, Jama’ah Tabligh
dibawa oleh Maulana Luthfi ur-Rahman dari Banglades pada tahun 1973
dalam kegiatan Khurujnya keliling Indonesia. Ia singgah di Tanjung
Karang, diterima dengan baik oleh pengurus mesjid al-Abror Jl. Pemuda
No. 20 Tanjung Karang, Lampung. Kemudian dilanjutkna oleh Dr. Abdul Hay,
Dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Ahmad Sabuur, Dr. Salman dari Universitas
Alighard India.
Perkembangan Jama’ah Tabligh di Medan diawali dengan kedatangan
Maulana Muhammad Ibrahim (yang sampai saat ini masih tetap menaruh
perhatian besar atas perkembangan Jama’ah Tabligh) dari Banglore, India
pada tahun 1971. Saat tiba di Medan ia disambut oleh masyarakat Medan
dengan baik. Salah seorang yang sangat tertarik dengan tabligh ini
adalah Haji Jalaluddin, sehingga dalam menyampaikan dakwahnya Maulana
Ibrahim selalu ditemani oleh Haji Jalaluddin. Mereka kemudian membangun
Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah Medan, yang kemudian menjadi
pusat/markas Jama’ah Tabligh Medan. Maulana Ibrahim kemudian mencurahkan
ilmunya pada Haji Jalaluddin, dan setelah ia yakin bahwa Haji
Jalaluddin mampu mengembangkan Jama’ah Tabligh di Medan ia pun kembali
ke negara asalnya. Haji Jalaluddin kemudian menjadi amir di Medan.
Setelah ia meninggal jabatan amir diteruskan oleh anaknya Haji
Badruddin.
Pengembangan dakwah yang berkesinambungan dan terus menerus
menghasilkan perkembangan jumlah anggota Jama’ah Tabligh di Medan.
Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah – yang kemudian lebih dikenal
dengan Mesjid Jalan Gajah – menjadi sentra perkembangan jama’ah ini.
Berbagai halaqah kemudian berdiri diberbagai daerah di Medan dan
sekitarnya, misalnya di Tanjung Mulia, Paya Pasir, dan Batang Kuis.
Sampai saat ini sulit untuk memastikan jumlah anggota Jama’ah Tabligh
di Medan. Hal ini karena Jama’ah Tabligh tidak mengenal sistem
formalitas administrasi keanggotaan. Namun yang jelas anggotanya terdiri
dari berbagai tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan mazhab atau
aliran.
Struktur keorganisasi yang formal dan mengikat tidak dikenal di
Jama’ah Tabligh, susunan keorganisasiannya didasarkan pada hirarki atau
garis kerja jama’ah yang terdiri dari:
Hadraji : orang yang dihormati
Majelis syuro dan Zumidar : majelis musyawarah dan penanggungjawab di setiap negara, propinsi, dan kotamadya/kabupaten
Karkun : ahli dakwah pada beberapa mahalla yang senantiasa menghidupkan amal maqomi.
Musyawarah rutin dilakukan oleh setiap halaqah untuk menata kerja
dakwah. Keterkaitan antara halaqah sampai tingkat hadraji dihubungkan
oleh musyawarah mufakat.
Peraturan dalam Jama’ah Tabligh disebut adab atau ushul da’wah – inilah yang menjadi ciri khas Jama’ah Tabligh – yang meliputi:
Empat hal yang diperbanyak: dakwah, taklim, zikir ibadah, khidmat.
Empat hal yang harus dikurangi: makan-minum yang berlebihan,
istirahat/tidur, berbicara yang sia-sia/tidak perlu, keluar/meninggalkan
mesjid.
Empat hal yang harus dijaga: hubungan dengan amir dan jama’ah
lainnya, amalan infiradi dan jama’I, kehormatan mesjid, sabar dan
tahammul (tahan ujian).
Empat hal yang harus ditinggalkan: meminta kepada yang selain Allah,
mengharap kepada yang selain Allah, menggunakan barang orang lain tanpa
izin, boros dan mubajir.
Empat hal yang tidak boleh dibicarakan: politik, ikhtilaf, pangkat
dan kedudukan, kebaikan atau jasa dan aib orang lain/masyarakat.
Aktifitas dan Metode Dakwah Jama’ah Tabligh di Medan
Aktifitas dakwah
Jama’ah Tabligh dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam selalu
mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam Jama’ah Tabligh. Dakwah
mereka sampaikan secara targhib (kabar gembira) yakni dengan memberikan
informasi tentang hal-halyang membahagiakan apabila seseorang menjalani
kehidupan sesuai dengan jalan Allah. Juga sebaliknya dengan tahrib
(ancaman) yakni memberikan informasi tentang bentuk-bentuk penderitaan
yang akan dialami seseorang yang keluar dari tuntunan Ilahi. Dari
berbagai informan yang penulis temui orang-orang yang kemudian bergabung
ke dalam Jama’ah Tabligh merasa peningkatan keimanan dan keislamannya
dan meninggalkan perbuatan maksiat dan sia-sia.
Mereka mendakwahkan Islam kepada masyarakat tanpa mempersoalkan
aliran, mazhab, dan khilafiah. Memakmurkan mesjid merupakan salah satu
aktifitas khas Jama’ah Tabligh yang dilakukan dalam setiap waktu salât,
baik saat mereka di rumah maupun saat mereka berdakwah keluar. Jama’ah
Tabligh dalam memakmurkan mesjid dengan mengisi amalan mesjid seperti
ta’lim wa ta’lum (mengajar dan belajar) yang biasa dilakukan setelah
melaksanakan salât wajib. Amalan mesjid yang lain yang mereka lakukan
bila mukim di suatu mesjid adalah membaca al-Qur’ân, salât tahajud,
salât dhuha, dan lain-lain. Salât berjama’ah dimesjid merupakan amal
yang sangat disiplin dilakukan oleh Jama’ah Tabligh baik saat berdakwah
maupun saat di rumah. Pada umumnya sebelum azan mereka sudah datang ke
mesjid. Bahkan ada sebagian Jama’ah Tabligh walaupun sedang berada di
kenderaan umum mereka akan segera turun untuk ke mesjid bila mereka
mendengar azan meski ia belum sampai ke tujuannya. Bagi Jama’ah Tabligh
salât berjama’ah hukumnya wajib.
Zikir dan doa merupakan ibadah yang juga menduduki posisi penting
bagi Jama’ah selain salât. Lafaz zikir yang selalu mereka lakukan adalah
istighfar, tahmid, tasbih, takbir dan tahlil. Berdoa juga mereka
lakukan secara teratur untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk
yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Mereka berdoa
dengan memenuhi adab-adabnya, yaitu: menyesuaikan waktu, tempat dan
situasi untuk berdoa, mengangkat tangan, menghadap kiblat, yakin bahwa
doa akan terkabul.
Membudayakan salam merupakan aktifitas yang selalu dilakukan oleh
Jama’ah Tabligh bukan saja terhadap sesama anggota tetapi juga terhadap
sesama Muslim.
Setiap anggota Jama’ah Tabligh dilatih dengan pendekatan praksis
untuk senantiasa beribadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah.
Mereka saling mengingatkan satu sama lain tentang pengamalan
ibadah-ibadah ini. Setiap anggota dilatih untuk mampu menyampaikan
risalah dakwah tanpa mengenal batasan tingkat pendidikan formal maupun
keluasan ilmu pengetahuan keislaman yang dimiliki. Bagi Jama’ah Tabligh,
berdakwah bukan hanya dalam batas peribadatan, tetapi juga dengan
memberikan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam berakhlak.
Dalam bertutur sapa, Jama’ah Tabligh selalu memulai dengan menyebut
asma dan sifat Allah. Misalnya mengucapkan Insya Allah bila berjanji
atau merencanakan suatu kegiatan, alhamdulillah bila mendapatkan nikmat
dan hal yang menyenangkan mereka atau menyenangkan orang lain,
subhanallah bila mereka salut dan Allah Akbar bila mereka takjub akan
kebesaran Allah. Dalam bertutur kata mereka cenderung randah hati, sopan
dan menghargai pendapat orang lain, tidak cepat marah dan kalimat yang
mereka ucapkan menyenangkan hati. Sedangkan dalam berbincang-bincang
mengenai masalah agama dan dunia mereka seakan pasrah.
Dalam berpakaian dan berhias Jama’ah Tabligh lebih senang memakai
gamis/jubah yaitu baju panjang sampai ke lutut dan dengan celana yang
tidak sampai mata kaki. Karena mereka beranggapan bahwa memakai celana
yang lewat mata kaki tempatnya di neraka. Jama’ah Tabligh mewajibkan
bagi kalangan wanita mereka untuk menutup auratnya kecuali wajah dan
telapak tangan. Pakaian ini mereka gunakan dalam semua aktifitas. Selain
itu bagi laki-laki memakai lobe dan serban, namun lobe lebih sering
digunakan untuk semua kegiatan sedangkan serban lebih sering digunakan
saat mendengarkan pengajian. Mereka selalu menggunakan parfum yang bebas
alkohol, menggunakan celak. Dalam menggosok bersugi, selain menggunakan
sikat dan odol mereka juga menggunakan kayu siwak.
Dalam berjalan Jama’ah Tabligh selalu menundukkan kepalanya, hal ini
dilakukan guna menghindarkan mata dari kemungkinan melihat hal-hal yang
mungkar atau yang membangkitkan syahwat. Walaupun hal-hal semacam itu
dinyatakan sebagai dosa kecil namun bila hal ini dilakukan terus menerus
tentu dosa tersebut akan menjadi besar.
Dalam ta’lim mereka selalu mendekat dan merapat kepada nara sumber.
Kegiatan ta’lim biasanya dilakukan setiap selesai salât fardhu. Umumnya
salah seorang dari mereka menjadi “moderator” dan secara bergantian
membaca kitab-kitab tertentu lalu mendiskusikannya. Bila mereka sedang
muqim di suatu mesjid biasanya mereka akan memberikan ta’lim kepada
jama’ah salât dengan menyampaikan satu hadits atau ayat al-Qur’ân. Dalam
mendengarkan ta’lim mereka selalu menunduk, baik bila mereka memahami
isi ta’lim maupun tidak.
Dalam Jama’ah Tabligh setiap anggota wajib memiliki sebuah buku,
minimal Fadhilah Amal untuk bahan bacaan di rumah. Hal ini untuk
menutupi sifat manusia yang pelupa agar tidak melupakan ajaran-ajaran
Islam.
Saat makan mereka berkumpul membentuk lingkatan mengelilingi satu
wadah – biasanya talam – dan mereka menggunakan tiga jari untuk menyuap
nasi dan tidak menggunakan alat bantu makan seperti sendok, garpu. Adab
duduk tatakala makan adalah menduduki kaki kiri dan kaki kanan dalam
posisi seperti jongkok. Mereka tidak pernah menyisakan apapun dalam
piring mereka, meskipun itu sebutir nasi. Sebagaian mereka hanya
mempraktekkan cara makan ini tatkala di luar rumah, namun bila mereka
berada di rumah mereka makan seperti umumnya orang lain makan, dengan
lima jari atau menggunakan alat bantu makan, dan duduk bersila atau di
atas kursi. Yang terasa dari makan bersama adalah pembentukan
kebersamaan dan ukhuwah yang semakin tinggi.
Hidup sederhana merupakan gaya hidup yang harus dibentuk oleh setiap
Jama’ah Tabligh. Kesederhanaan ini bukan saja dalam berpakaian dan
makan, namun juga tidak membelanjakan harta dengan sia-sia tanpa manfaat
bagi agama Islam.
Mengeluarkan harta di jalan Allah merupakan sikap yang terus menerus
mereka pupuk dalam upaya menegakkan syiar dan kejayaan Islam.
Aktifitas-aktifitas lain yang mereka lakukan antara lain:
Musyawarah harian dan mingguan
Khususi, yaitu melakukan kunjungan atau silaturahmi dengan orang-orang islam yang ada di tempat yang mereka tuju.
Khuruj, yakni kegiatan dakwah yang dilakukan di luar lokasi tempat tinggal.
Jaulah, yakni kegiatan yang dilakukan secara berkeliling dari satu
rumah ke rumah yang lain untuk mengajak umat Islam salât di mesjid
sekaligus untuk mendengarkan bayan atau ceramah agama yang disampaikan
setelah salât fardhu.
Ta’lim, yakni penyampaian materi dengan menelaah kitab-kitab tertentu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan amal.
Bayan setelah salât fardhu. Ini dilakukan bukan saja saat mereka di
Mesjid, sebagian anggota Jama’ah Tabligh juga melakukan bayan di rumah
setiap hari, umumnya setelah salât Maghrib.
Malam markas, yaitu pertemuan yang dilakukan pada malam hari oleh
anggota Jama’ah Tabligh. Kegiatan ini dilakukan seminggu sekali dimulai
dari sesudah ‘Asar sampai menjelang Zuhur keesokan harinya.
Masturah, yakni kegiatan dakwah bagi sepasang suami istri. Bila
wanitanya adalah anggota Jama’ah Tabligh dan suaminya bukan, maka ia
harus menyertakan suaminya dan atau keluarga mereka yang wanita.
Kegiatan ini hanya boleh dilakukan bagi mereka yang sudah berkeluarga
dan disertai suami.
Bila diuraikan secara spesifik, metode atau cara-cara yang diterapkan
Jama’ah Tabligh dalam transformasi ajaran Islam untuk mencapai tujuan
dakwah antara lain:
Metode uswah/teladan
Metode ceramah
Metode mengajak.
Metode muzakarah.
Metode taskil
Metode dor to dor
Metode maw’idzah/pengajaran
Metode Tabsyir
Metode indzâr
Metode Kisah-kisah.
Metode Nasihat.
Metode Pembiasaan.
Respon Masyarakat
Respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
Menolak
Tingkat penolakan yang paling ekstrim adalah yang menyatakan bahwa
Jama’ah Tabligh adalah aliran sesat, sebagian menyatakan bahwa Jama’ah
Tabligh tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini mereka nyatakan karena
melihat fenomena bahwa sebagian anggota Jama’ah Tabligh yang
mengabaikan dan menelantarkan keluarga, menelantarkan studi, dan
meninggalkan pekerjaan.
Menerima secara aktif.
Anggota masyarakat jatuh cinta kepada gerakan dakwah Jama’ah Tabligh
dan kemudian mengikuti kegiatan dakwah saat mereka berdakwah di lokasi
tempat tinggalnya. Ini kemudian diteruskan dengan keikutsertaannya
menjadi anggota Jama’ah Tabligh. Mereka yang menerima aktif ini dapat
dikategotikan dalam tiga latar belakang:
Golongan yang memang sudah menjalankan ibadah Islam dengan baik namun
kemudian merasakan kelezatan iman yang lebih tinggi saat mengikuti
kegiatan dakwah Jama’ah Tabligh.
Golongan yang masih labil pelaksanaan ajaran Islam yang kemudian
termotivasi karena selama pergaulannya dengan anggota Jama’ah Tabligh
mengalami pengingkatan keislaman dan keimanan.
Golongan yang sama sekali tidak mengamalkan ibadah atau ajaran Islam
dan bahkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam
yang kemudian selama pergaulan dengan anggota Jama’ah Tabligh mengalami
pencerahan spiritual.
Menerima dengan pasif.
Yakni anggota masyarakat yang tercerahkan dengan kehadiran Jama’ah
Tabligh dan selalu hadir dalam pengajian Jama’ah Tabligh di daerahnya
namun tidak terlibat aktif dalam aktifitas dakwah.
Acuh tak acuh.
Ini adalah golongan yang baginya ada atau tidak Jama’ah Tabligh di
daerahnya dia tidak ambil pusing, tidak menolak dan tidak menerima, dan
tidak memberikan komentar dan respon apapun.
Kritik masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh adalah: Pertama, Jama’ah
Tabligh hendaknya sebelum melakukan dakwah keluar meninggalkan nafkah
yang cukup untuk keluarga, dan bagi yang sudah berkeluarga hendaknya
tidak meninggalkan keluarga lebih dari satu minggu. Kedua, Jama’ah
Tabligh jangan melupakan membimbing keluarga dalam keislaman, jangan
terlena mendakwahi orang lain tapi melupakan keluarga. Ketiga, tidak
membolehkan anak-anak turut dalam kegiatan dakwah karena hal ini
memberatkan anak-anak khusunya bagi anak-anak yang masih bersekolah.
Keempat, hanya membolehkan para pelajar berdakwah keluar saat mereka
sedang libur sekolah. Kelima, menekankan kepada anggotanya akan
pentingnya pencapaian dunia, kesalahan bukan terletak pada pencapaian
dunia melainkan pada penggunaan pencapaian dunia itu untuk tujuan di
luar jalan Allah. Keenam, tidak membolehkan anggota yang pengetahuan
keislamannya rendah berdakwah karena dapat menyesatkan umat. Ketujuh,
mengarahkan anggotanya pada rujukan-rujukan sumber ajaran Islam,
al-Qur’ân dan Hadits yang benar, bukan hadits-hadits yang lemah apalagi
palsu. Kedelapan, meskipun Jama’ah Tabligh tidak membicarakan dan
terlibat politik namun harus memberikan kemerdekaan bagi anggotanya
untuk berkegiatan politik, karena kekuasaan itu juga dapat digunakan
untuk penyebaran Islam, khususnya untuk menegakkan khilafah islamiyah.
Kesembilan, upaya mewajibkan anggota untuk bertaqlid bertentangan dengan
ititba’. Kesepuluh, Jama’ah Tabligh terlalu terfokus pada kesalehan
individual dengan mengabaikan aspek-aspek politik, jihad, dan ekonomi.
Kesebelas, Jama’ah Tabligh terlalu sempit dalam memahami dakwah yang
terbatas pada bidang yang parsial dan tidak universal. Dan pola dakwah
yang mereka terapkan masih konservatif dengan hanya melanjutkan dan
mempertahankan segala sesuatu yang menjadi kebiasaan Rasulullah saw
tanpa ada usaha untuk melakukan ijtihad dengan menyesuaikan dengan
keadaan yang berlaku di zaman sekarang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai lembaga dakwah yang berasal dari Kandahlah di kawasan
Muzhafar Nagar, Utar Prades, India., Jama’ah Tabligh terdiferensiasi
dengan lembaga-lembaga lainnya dalam beberapa hal:
Lahir bukan atas latar belakang politis dan menjauhi hal-hal yang
berhubungan dengan politik dan bahkan melarang anggotanya untuk tidak
terlibat dalam politik.
Garis kerja dakwah (hirarki) tidak sama dengan lembaga lain baik
dalam sistem dan peraturannya, serta kualitas pengorbanan harta, jiwa,
raga, dan waktu dalam berdakwah.
Sikap dan prilaku yang diaktualisasikan sebagai Muslim dengan
menjalankan amalan-amalan wajib dan sunnah serta meninggalkan hal-hal
yang sia-sia/tidak bermanfaat selama 24 jam.
Karakteristik kepribadian islami yang kemudian menjadi budaya jama’ah
tercermin dari ketulusan hati, tanggung jawab, integritas, kejujuran,
kecermatan, menepati janji, mengontrol diri, rendah hati, sabar, tabah,
berani, sederhana, kerja keras dan persaudaraan. Kesemuanya tertuang
secara melembaga dalam adab-adab ushul dakwah, khidmat, ikrâm, dan
tasykil.
Selain dakwah melalui komunikasi kepada masyarakat mereka juga
berdakwah melalui pelestarian nilai-nilai dan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari dimana mereka berada.
Perilaku interpersonal anggota Jama’ah Tabligh memberikan penguatan
(reinforcement) dan dorongan dalam mewujudkan interaksi kelompok dalam
keberagamaan.
Realisasi ajaran-ajaran Islam yang dilakukan bukan sekedar ritual
mekanis melainkan lebih dari itu merupakan upaya pelestarian dan
perbaikan individu dan masyarakat.
Dalam transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam Jama’ah Tabligh menerapkan berbagai metode dakwah.
Dari sisi transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam, Jama’ah Tabligh mengaplikasikan behavioral learning ini sebagai berikut:
Pengalaman-pengalaman baru yang dibentuk adalah pengalaman-pengalaman
yang melahirkan ketenangan jiwa dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam,
yang selanjutnya menghasilkan internalisasi nilai-nilai dan
ajaran-ajaran Islam dalam diri setiap Muslim.
Asosiasi baru yang dibentuk adalah asosiasi yang positif dan
membahagiakan antara kognisi, afeksi, emosi, dan psikomotor seorang
Muslim dengan agama Islam.
Kecenderungan baru yang akan dibentuk adalah kecenderungan untuk
selalu menggapai ridha Ilahi dengan melakukan amalan-amalah shalih
dimanapun berada, baik di rumah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan
kerja, mesjid, lingkungan belajar, Dan sebagainya.
Habitat baru yang dibentuk adalah habitat /masyarakat terbaik atau masyarakat Muslim yang menyahuti tuntutan Allah.
Dalam mengkaji respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh harus
dilihat secara objektif, terbuka, toleran, dengan pemaham luas tentang
Jama’ah Tabligh, dan dengan melihat latar belakang anggotanya secara
individual. Hal ini perlu, mengingat pandangan negatif tentang Jama’ah
Tabligh sebagian dihasilkan karena kesalahan generalisasi, yakni
menjadikan kasus perorangan berlaku untuk semua anggota Jama’ah Tabligh.
Secara umum, hasil yang dicapai bagi setiap individu dan masyarakat
sasaran dakwah Jama’ah Tabligh dapat dirangkumkan sebagai berikut:
Masyarakat semakin gemar melakukan amal ibadah.
Salât berjamaah semakin hari semakin hidup di mesjid.
Peningkatan jumlah jama’ah mesjid.
Suasana keislaman di masyarakat mulai hidup.
Penurunan tingkat kenakalan remaja
Semangat menggali pengetahuan keislaman semakin tinggi
Peningkatan ukhuwah islamiyah dan silaturahmi.
Dari pantauan berkala di masyarakat, penulis melihat bahwa hasil di
atas relatif tidak permanen bagi sebagian besar anggota masyarakat.
Beberapa hari setelah Jama’ah Tabligh meninggalkan lokasi, hanya
sebagaian kecil anggota masyarakat yang tetap menunjukkan hasil
pendidikan dakwah Jama’ah Tabligh tersebut. Namun bagi warga masyarakat
yang kemudian terus mengikuti kegiatan dakwah mereka dan apalagi bagi
anggota Jama’ah Tabligh hasil di atas bersifat permanen, bahkan terus
menerus ditingkatkan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prilaku dalam bentuk
aktifitas keagamaan yang dibudayakan Jama’ah Tabligh merupakan salah
satu bentuk terapi kesehatan jiwa dari perspektif Psikologi Agama.
Mereka adalah orang-orang yang telah didakwahi dan kemudian mendakwahi,
diobati dan kemudian mengobati, diishlahkan kepribadiannya dalam pelukan
iman dan kemudian mengishlahkan orang lain. Mereka adalah orang-orang
yang meleburkan ego individunya dan membentuknya menjadi suatu impresi
keanggotaan kolektif. Sehingga dakwah yang dilakukan tidak lagi
dipandang sebagai aktifitas individu melainkan aktifitas kelompok.
Kebanggaan individu lebur menjadi kebanggaan kelompok yang selanjutnya
akan membentuk kebanggaan keislaman. Dari sisi ini dan dari sisi bahwa
aktifitas-aktifitas Jama’ah Tabligh menyebar di masyarakat, maka dapat
dikatakan mereka adalah “dokter” kesehatan jiwa masyarakat.
Pustaka Acuan
Baron, Robert A. dan Donn Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, Edisi VI, Boston: Allyn and Bacon, 1991.
Bischof, Ledford J., Adult Psychology, edisi 2. New York: Harper and Crow, 1976.
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor, Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian, terj. A. Khozin Afandi, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, Macon, Georgia, Mercer University Press, 1986.
David, Linda L., Introduction to Psychology, edisi 3, New York: McGraw-Hill, Inc., 1976.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, jilid 2, Jakarta: Anda Utama, 1993.
Erikson, E. H., The Life Cycle Completed: A Review, New York: W.W. Norton, 1982.
Frager, Robert, Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of Growth,
Balance and Harmony, terj. Hasmiyah Rauf, Jakarta: Serambi, 2002.
Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion, New Haven: Yale University Press, 1950.
Fromm, Erich, The Art of Loving, New York: Harper and Row, 1956.
Gazalba, Sidi, Mesjid Sebagai Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1975.
Goldman, Ronald, Religious Thinking from Childhood to Adolescence, New York: Seabury Press, 1964.
Hassan, A., Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 1983.
Henderson, Joseph L., Cultural Attitudes in Psychological Perspective, Toronto: Inner City Books, 1983.
Huberman, A. Michael dan Mathew B. Miles Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press, 1992
Hurlock, Elizabeth B., Developmental Psychology: A Life Span Approach
edisi V, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta: Erlangga, 1994.
Ibrahim, Edi Subandy, dkk, Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Populer dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Bandung: Mizan, 1997.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
an-Nadwi, Abul Hasan Ali, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana
Muhammad Ilyas, edisi terjemahan, cet 1, Darun Nukman: Kuala Lumpur,
1991.
O’Dea, Thomas F., The Sociology of Religion, New Jersey: Prentice Hall, 1966.
Piaget, Jean Piere, The Moral Judgment of the Child New York: Harcourt, Brace and World, 1932.
Scobie, Geoffrey E.W., Psychology of Religion, London: B.T. Batsford, 1975.
Spilka, Bernard, dan Daniel N. McIntosh, The Psychology of ReligionL Theoritical Approach, Colorado: Westview Press, 1997.
Tajfel, Henri, The Social Dimension, jilid I, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
Thoules, Robert H., An Introduction to Psychology of Religion, Cambridge: Cambridge University Press, 1979.
Weiten, Wayne, Psychology Applied to Modern Life, Edisi II, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985.
Yinger, J.M., Religion, Society and the Individual, New York: Macmillan, 1957.
sumber : http://dalamdakwah.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment