Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’ atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho’if itu?
Jawab:
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’.
Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang
dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya
(sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi
tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh
para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan
hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat
melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung
sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul
Aziz
mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah
memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri
dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah
muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa
Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat
itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka
bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits
karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai
khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya
hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat
dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman
Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah
sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah
yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya.
Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal
ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang
mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu
Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni
memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan
menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan
bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus,
terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits
itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang
terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat
hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi,
hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi,
hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang
semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat
dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di
Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil
hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak
didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i
memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul
a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit
antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’.
Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra.
Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam
Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil
untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan
sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya
sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang
970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT
DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena
kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan
masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan
sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan
peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih
sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer
sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau
hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat
ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari
bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal
setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini
pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di
dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai
menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang
guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga
sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat
mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke
dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang
membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan
dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak
keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran
tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits
yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal
100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh
ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim,
tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh
sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka
hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi
pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun
bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka
kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang
pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut.
Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu
terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan
hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan
ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam
Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat
mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan
mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang
dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan
seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh
ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah
meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji
tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.
Sumber: Tengku Zulkarnaen
0 comments:
Post a Comment