Jamaah Tabligh di Medan Sejarah awal perkembangan Jamaah Tabligh di
Medan diawali dengan kedatangan Maulana Muhammad Ibrahim dari Banglore
India pada 1971. Saat tiba di Medan ia disambut oleh masyarakat Medan
dengan baik. Seorang yang sangat tertarik dengan tabligh ini adalah Haji
Jalaluddin, sehingga dalam menyampaikan dakwahnya Maulana Ibrahim
selalu ditemani Haji Jalaluddin. Mereka kemudian membangun Masjid
Hidayatul Islamiyah di Jalan Gajah Medan, yang kemudian menjadi pusat
Jamaah Tabligh Medan. Maulana Ibrahim kemudian mencurahkan ilmunya pada
Haji Jalaluddin, dan setelah ia yakin Haji Jalaluddin mampu
mengembangkan Jamaah Tabligh di Medan ia pun kembali ke negara asalnya. Haji
Jalaluddin kemudian menjadi amir di Medan. Setelah ia meninggal jabatan
amir diteruskan oleh anaknya Haji Badruddin. Pengembangan dakwah yang
berkesinambungan dan terus menerus menghasilkan perkembangan jumlah
anggota Jamaah Tabligh di Medan. Masjid Hidayatul Islamiyah di Jalan
Gajah, yang kemudian lebih dikenal dengan Masjid Jalan Gajah, menjadi
sentra perkembangan jamaah ini. Berbagai halaqah kemudian
berdiri di
berbagai daerah di Medan dan sekitarnya, misalnya di Tanjung Mulia, Paya
Pasir, dan Batang Kuis. Sampai saat ini, menurut Haji Badruddin, sulit
untuk memastikan jumlah anggota Jamaah Tabligh di Medan. Hal ini karena
Jamaah Tabligh tidak mengenal sistem formalitas administrasi
keanggotaan. Namun yang jelas anggotanya terdiri dari berbagai tingkat
pendidikan, sosial ekonomi dan mazhab atau aliran. Peraturan dalam
Jamaah Tabligh disebut adab atau ushul dawah, inilah yang menjadi ciri
khas Jamaah Tabligh, yakni empat hal yang diperbanyak: dakwah, taklim,
zikir ibadah, khidmat. Empat hal yang harus dikurangi makan-minum yang
berlebihan, istirahat/tidur, berbicara yang sia-sia/tidak perlu,
keluar/meninggalkan masjid. Empat hal yang harus dijaga adalah hubungan
dengan amir dan jamaah lainnya, amalan infiradi dan jama’i, kehormatan
masjid, sabar dan tahammul (tahan ujian). Empat hal yang harus
ditinggalkan: meminta kepada yang selain Allah, mengharap kepada yang
selain Allah, menggunakan barang orang lain tanpa izin, boros dan
mubajir. Dan empat hal yang tidak boleh dibicarakan adalah politik,
ikhtilaf, pangkat dan kedudukan, kebaikan atau jasa dan aib orang
lain/masyarakat. Haji Badruddin juga mengatakan, Jamaah Tabligh dalam
mentransformasikan nilai-nilai Islam selalu mengajak orang lain untuk
bergabung ke dalam Jamaah Tabligh. “Dakwah disampaikan secara targhib
(kabar gembira) yakni dengan memberikan informasi tentang hal-hal yang
membahagiakan apabila seseorang menjalani kehidupan sesuai dengan jalan
Allah. Juga sebaliknya dengan tahrib (ancaman) yakni memberikan
informasi tentang bentuk-bentuk penderitaan yang akan dialami seseorang
yang keluar dari tuntunan ilahi,” terangnya. Lebih lanjut Haji Badruddin
mengatakan, pihaknya mendakwahkan Islam kepada masyarakat tanpa
mempersoalkan aliran, mazhab, dan khilafiah. “Memakmurkan masjid
merupakan satu aktifitas khas Jamaah Tabligh yang dilakukan dalam setiap
waktu salat, baik saat mereka di rumah maupun saat mereka berdakwah
keluar. Jamaah Tabligh dalam memakmurkan masjid dengan mengisi amalan
masjid seperti talim wa talum (mengajar dan belajar) yang biasa
dilakukan setelah melaksanakan salat wajib,” paparnya. Amalan masjid
yang lain yang mereka lakukan bila mukim di suatu masjid adalah membaca
Al-Quran, salat tahajud, salat dhuha, dan lain-lain. Salat berjamaah di
masjid merupakan amal yang sangat disiplin dilakukan oleh Jamaah Tabligh
baik saat berdakwah maupun saat di rumah. Pada umumnya sebelum azan
sudah datang ke masjid. Sedangkan, zikir dan doa merupakan ibadah yang
juga menduduki posisi penting bagi Jamaah selain salat. “Lafaz zikir
yang selalu kami lakukan adalah istighfar, tahmid, tasbih, takbir dan
tahlil. Berdoa juga kami lakukan secara teratur untuk membuktikan
manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan
Allah,” katanya. Membudayakan salam juga merupakan aktivitas yang selalu
dilakukan Jamaah Tabligh bukan saja terhadap sesama anggota tetapi juga
terhadap sesama Muslim. Setiap anggota Jamaah Tabligh dilatih dengan
pendekatan praksis untuk senantiasa beribadah, baik ibadah wajib maupun
ibadah sunnah. “Kami saling mengingatkan satu sama lain tentang
pengamalan ibadah-ibadah ini. Setiap anggota dilatih untuk mampu
menyampaikan risalah dakwah tanpa mengenal batasan tingkat pendidikan
formal maupun keluasan ilmu pengetahuan ke Islaman yang dimiliki. Bagi
Jamaah Tabligh, berdakwah bukan hanya dalam batas peribadatan, tetapi
juga dengan memberikan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam
berakhlak,” ujarnya. Dalam berpakaian dan berhias Jamaah Tabligh lebih
senang memakai gamis/jubah yaitu baju panjang sampai ke lutut dan dengan
celana yang tidak sampai mata kaki. “Kami mewajibkan kalangan wanita
menutup auratnya kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian ini mereka
gunakan dalam semua aktivitas,”katanya.(saz)
sumber : http://dalamdakwah.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment