Tentara-tentara ini ternyata juga
memikirkar dakwah islam. Semoga hidupnya menjadi berkah…Hari-hari ini di
Kalimantan terdapat sekitar 7.000-an anggota Polri yang terjun dan
ditraining melalui metode khuruj fisabilillah Jamaah Tabligh. Markas
Tabligh di Kebun Jeruk bahkan sampai kekurangan tenaga untuk membimbing
mereka. Nampaknya petinggi2 Polri mulai sadar bahwa untuk merubah
institusi Polri perlu satu metode ESQ yang lebih tajam dan terpola.
Wassalam,
Abu Izza Adduri
Pagi itu Jakarta cukup dingin. Jarum jam menunjuk pukul 06.00 WIB
ketika Ustadz Agus Soetomo menjemput saya. “Mari kita berangkat. Kita
pergi tiga hari ya,” ajaknya.
Pak Haji Agus-panggilan akrabnya-adalah aktivis dakwah yang punya
segudang pengalaman. Usianya sudah cukup tua namun ghirah-nya seperti
pemuda belasan tahun. Penuh semangat. Itu mendorong saya untuk bergegas
mengikuti ajakannya.
Kami menuju Bogor, mengendarai Suzuki Carry warna merah menyusuri jalan
tol Jagorawi yang saat itu masih sepi. Tempat yang kami tuju adalah
Kompleks TNI Yonif 315 Bogor. Hari itu, Pak Haji Agus dan kawan-kawan
akan menggelar acara yang cukup istimewa. Yaitu melakukan khuruj (keluar
atau bepergian di jalan Allah) bersama para tentara.
Tiba di tujuan, saya segera menangkap pemandangan yang terasa berbeda.
Puluhan tentara sudah “apel” di masjid Nurul Amal Yonif 315. Sebagaimana
tentara pada umumnya, mereka memakai
seragam loreng. Namun yang
bertengger di kepalanya bukan topi baja, melainkan surban. Ada pula yang
memakai kopiah putih. Para prajurit yang “siap tempur” itu berbaur
dengan belasan pria berjenggot yang rata-rata memakai gamis warna putih
dan juga surban.
“Ini Ustadz Hasanuddin, danton-(komandan peleton)-nya,” Pak Haji Agus
memperkenalkan saya pada seseorang. Saya mengulurkan tangan untuk
berjabat tangan dengan pria ramah itu.
Semua “Letjen”
Tepat pukul 09.00, “Danton” Hasanuddin memberi aba-aba agar pasukan
segera berangkat. Gelar pasukan dibagi menjadi 13 kelompok.
Masing-masing terdiri abeg 5 sampai 7 orang tentara dan 7 aktivis Jamaah
Tabligh. Menurut Pak Haji Agus, mereka akan disebar ke berbagai masjid
di kawasan Bogor, Jakarta, Sukabumi, dan Bandung.
Ustadz Hasanuddin menjelaskan tentang apa yang mesti dilakukan oleh
masing-masing amir atau ketua kelompok di “medan tempur” nanti. Suasana
hening. Semua menyimak dengan seksama apa yang diperintahkan oleh
komandan.
Saya masuk ke dalam Kelompok Kalibata. Alhamdulillah, batin saya,
berarti tidak jauh dengan rumah saya di kawasan Kampung Melayu (Jakarta
Timur). Siapa tahu nanti saya punya waktu untuk sekadar menengok rumah
di sela-sela acara. Apalagi esok harinya harus menghadiri pernikahan
seorang teman, jadi saya mesti izin sebentar.
“Saat ini kita semua letjen. Cepat-cepat, waktunya mendesak! Jendela
satu, dua, tiga, dan selanjutnya mohon dibuka, supaya tidak merepotkan
gerak kita,” kata Danton Hasanuddin.
Batin saya langsung berdecak kagum, berarti tentara-tentara ini
berpangkat letnan jenderal semua. Subhanallah! Tapi, kok tampangnya
masih muda-muda?
Kami berhamburan ke luar masjid, ada yang lewat pintu, ada yang lewat
jendela. Kebetulan jendelanya rendah sehingga tidak sulit untuk
dilompati. “Ayo keluar lewat jendela. Sekarang ini kita semua letjen,
lewat jendela,” Hasanuddin terus memberi komando.
Ealaaah, ternyata letjen itu singkatan dari “lewat jendela”. Saya cengar-cengir.
Nyasar ke Sukabumi
Sekitar pukul 10.00, pasukan meninggalkan masjid, menuju berbagai tempat
yang telah ditentukan. Jika ada salah satu anggota kelompok yang
mempunyai mobil, maka mobil itulah yang dipakai banyak-banyak. Bagi
kelompok yang tak punya mobil, mereka harus iuran agar bisa menyewa
kendaraan.
Alhamdulillah, dua anggota Kelompok Kalibata punya mobil Panther dan
Kijang kapsul. Saya berada di dalam Panther, bersama 5 orang tentara.
Menilik pangkat yang tertempel di pundaknya, ada seorang yang berpangkat
letnan satu, seorang sersan dua, dan lainnya sersan satu. Namun pada
saat itu mereka bercanda seperti kawan akrab, seolah-olah tak ada
perbedaan pangkat.
Awalnya saya agak kikuk karena satu orang pun belum ada yang kenal,
meskipun sudah berjabatan tangan. Saya masih memilih diam dan lebih
banyak melempar senyum, sambil asyik mengamati pemandangan selama di
perjalanan.
Lama-lama hati saya bertanya-tanya, sebab Panther itu tidak mengarah ke
Jakarta tetapi justru sebaliknya. Di kiri kanan jalan terhampar
perkebunan teh, lalu hutan, dan pokoknya makin jauh dari suasana
kebanyakan. “Lho, Pak, katanya mau ke Kalibata, kok lewat hutan begini?
Apa tidak nyasar?” tanya saya.
“Kita tidak ke Kalibata, tetapi ke Sukabumi,” jawab Ustadz Hasanuddin yang menjadi amir kami.
Wah, salah sangka lagi! Terbayang, besok berarti saya tidak bisa
menengok rumah dan menghadiri pernikahan teman. Tapi tak apalah, insya
Allah ada hikmahnya.
Tujuan rombongan ini ternyata ke Masjid Sekolah Polisii Negara (SPN)
Lido, Sukabumi (Jawa Barat). Begitu tiba di lokasi, kami langsung
berdoa, mohon petunjuk dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
perjalanan dakwah bisa lancar dan terhindar dari fitnah.
Waktu itu hari Jumat. Kami bergegas mengambil air wudhu untuk
melaksanakan shalat. Sebelum khatib naik mimbar, takmir masjid
menyampaikan pengumuman kepada jamaah, “Selamat datang kepada
rekan-rekan dari Jamaah Tabligh yang akan beri’tikaf di masjid kita ini
selama tiga hari.”
Perwira Ingin Masuk Surga
Usai shalat Jumat, kami duduk melingkar sambil menunggu makan siang.
Amir menerangkan tentang adab makan, adab bersuci, mandi, berwudhu,
masuk masjid, dan tidur. Itulah di antara aktivibeg yang akan kami
lakukan di lingkungan masjid. Usai ceramah, salah seorang teman
mengkoordinir iuran untuk biaya makan sehari-hari.
Beberapa saat kemudian ada beberapa pengurus masjid yang bergabung. Kami
pun segera tenggelam dalam perbincangan yang akrab. “Masya Allah,
terima kasih abeg kehadiran Bapak-Bapak. Kami sangat senang,” kata salah
seorang di antara mereka.
Takmir masjid lainnya menyajikan makanan. Tuan rumah segera
mempersilakan kami untuk menikmati hidangan. “Makanan telah siap, teori
sudah kita kuasai, sekarang tinggal praktiknya,” celetuk seorang teman
yang segera disambut derai tawa.
Makanan itu diletakkan dalam nampan. Ada nasi, beberapa potong ayam
goreng, dan sayur kentang. Tiap nampan “diserbu” oleh 5 orang sehingga
masing-masing akan mendapat jatah yang tidak begitu banyak. “Seperti
inilah kalau Rasulullah makan, dan kita harus menapaktilasinya,” kata
amir.
Iseng-iseng saya bertanya, “Tentara apa biasa makan dengan menu sederhana dan cuma sedikit begini?”
“Biasa. Malah kalau pas di hutan dan lapar, kami biasa makan seadanya.
Kalau ada pisang ya dimakan semua, termasuk kulitnya,” kata Sertu Abdul
Haris sambil tertawa.
Usai makan siang, kami diberi kesempatan untuk istirahat setelah
menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam. Ada yang langsung tidur di lantai
abeg masjid, ada yang membersihkan tempat makan, ada yang membaca
Al-Qur`an, ada pula yang membaca kitab. Setelah itu, para tentara
melepas seragam lorengnya. Mereka ganti dengan baju koko, sarung, dan
kopiah.
Seorang tentara mendatangi saya, lalu bertanya, “Islam itu yang seperti
apa sih? Ada NU, Muhammadiyah, ada lagi yang lain. Mana yang benar?”
Saya lalu terlibat obrolan cukup panjang. Saya mengatakan bahwa yang
disebut itu hanyalah organisasi massa Islam. Islam yang benar adalah
yang teguh memegang Al-Qur`an dan sunnah atau dikenal sebagai
ahlus-sunnah wal-jama’ah.
Pada hari kedua, Letnan Satu Lalu Syaifullah terjadwal menyiapkan makan
atau kami menyebutnya ahlul khidmat (pelayan). “Wah, sungkan juga, orang
seperti saya dilayani oleh calon jenderal,” saya melempar gurauan.
“Nggak apa-apa. Kalau kita ngandalin ego, nanti nggak bakal masuk
surga!” tentara muda asal Lombok ini enteng menjawabnya. Tangannya
tampak cekatan menata hidangan di abeg nampan.
Pelayan Senior
Tiap usai mendirikan shalat fardhu berjamaah, kami langsung memmembuat
lingkaran halaqah ta’lim. Salah seorang di antara kami membacakan kitab
Fadhilah Amal kira-kira sepuluh menit.
Kemudian dilanjutkan dengan halaqah musyawarah. Ini adalah saat untuk
melaporkan hal-hal yang dilakukan selama jeda dua waktu shalat. Amir
selalu berpesan agar semua rombongan tak pernah lalai untuk dzikir.
Kalau ada yang capai atau perlu istirahat, dzikir bisa dilakukan
bergantian. “Jangan sampai ada waktu kosong tanpa dzikir. Dzikir inilah
yang menguatkan diri kita ketika ada serangan yang tidak diinginkan
dalam mengemban tugas yang mulia ini,” jelas amir.
Akhirnya kami memmembuat jadwal dzikir di dalam masjid. Bagi yang tidak
terjadwal, harus melakukan khuruj dan mengajak masyarakat sekitar agar
aktif pergi ke masjid.
Jadwal itu diatur sedemikian rupa sehingga semua mendapat giliran. Tidak
memandang tua-muda, letnan, mayor, atau prajurit, semua sama. Seorang
teman yang usianya sudah enam puluhan minta tugas secara khusus. Apa
itu? Menjadi ahlul khidmat! Masya Allah, padahal beliau ini sudah cukup
senior dan kaya pengalaman dakwah. Kami yang masih muda-muda sungguh
malu dimembuatnya.
Terus terang saya jadi tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik kakek
ini. Dan, dia selalu tersenyum setiap mengerjakan berbagai tugas yang
menuntut stamina prima itu. Senyum yang tampak tulus.
Pesan Amir
Tentu saja kami tak cuma asyik dengan diri sendiri. Setiap bertemu
seseorang, kami akan selalu mengajaknya berbincang, tentang
pekerjaannya, keluarga, sampai aktif-tidaknya di masjid. Kami bahkan
mendatangi kaum Muslimin door to door, tukang ojeg, sampai anak-anak
muda yang nongkrong di pinggir jalan. “Kita ini saudara seiman. Mari
kita bertemu di masjid, ada pengajian yang insya Allah bisa meningkatkan
keimanan dan keilmuan kita,” begitu kata-kata kami kepada seseorang
yang jarang ke masjid.
Ada yang menerima kami dengan tangan terbuka dan senyum mengembang, ada
yang bersikap dingin, ada pula yang terkesan menghindar. “Jangan heran
jika jamaah kita ini dianggap aneh. Kita harus selalu bersyukur, dan
kalau dianggap aneh maka semoga itu semakin meningkatkan kualibeg
keimanan kita. Rasulullah dulu juga dianggap aneh,” pesan Ustadz
Hasanuddin.
Amir kami ini memang terus memberi nasehat, dimanapun dan kapanpun. Kami
semua senang sebab Ustadz Hasanuddin menyampaikannya selalu dengan
tersenyum ramah.
“Kita harus mensyukuri nikmat ini dengan menyisihkan waktu untuk
menghidupkan masjid dan mengajak umat supaya kembali ke jalan Islam.
Kita luangkan waktu yang biasanya sibuk dengan kehidupan dunia ini,
untuk berjuang di jalan Allah,” ujar pria tinggi kekar ini. Panbeglah
kalau disebut Komandan Peleton.
“Sampaikan bahwa kita ini sebenarnya juga bekerja, mencari nafkah,
sebagaimana layaknya saudara-saudara yang jarang ke masjid karena sibuk
dengan urusan dunianya itu. Sampaikan, bahwa kita, meskipun bekerja
juga, tak melupakan kewajiban sebagai hamba Allah.”
“Kerja seperti kita ini akan mengundang pertolongan Allah. Jadi,
seharusnya kita ini berebut untuk melakukannya. Bahkan andaikan para
raja atau presiden tahu tentang pahala dan kemuliaan perjalanan dakwah
ini, niscaya mereka akan meluangkan waktu di antara pekerjaannya untuk
berdakwah.”
Hari Ahad sekitar pukul 17.00, kami meninggalkan Masjid SPN Lido.
Perpisahan dengan takmir masjid terasa begitu mengharukan. “Insya Allah
kita akan bertemu lagi,” kata amir.
Kami segera meluncur ke Yonif 315 Bogor. Para tentara kembali mengenakan
seragam loreng. Kami sempat berhenti sejenak di sebuah masjid untuk
menunaikan shalat Maghrib.
Sampai di Masjid Nurul Amal, kami langsung berpisah untuk pulang ke
tempat asal masing-masing. Peluk cium terasa begitu erat. Beberapa
tentara terisak-isak menahan haru. Sempat terbersit dalam benak saya,
“Tentara ternyata juga bisa menangis!”
Sebagai kata pelepasan, amir berpesan, “Jadikanlah masjid sebagai pusat
kegiatan untuk meng-upgrade iman yang lemah dan mendongkrak semangat
untuk cinta kepada Allah. Kita juga harus berkhidmat dan bermembuat baik
kepada siapapun, bahkan kepada orang yang tak menyukai kita.”*
(Dimuat di Majalah Hidayatullah edisi April 2003)
sumber : http://dalamdakwah.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment