0 Khuruj ke thailand

Assalamualaikum,
Alhamdulillah Kemarin saya bisa ikut program khuruj 15 hari masturot di Thailand. Ceritanya belum sempat saya tulis. Namun ini ada tulisan bagus mengenai khuruj di Thailand. Ajiiiiiib dakwah ini… Ya Alloh hantarlah hamba ke seluruh alam untuk dakwah. Dengan kudrat-Mu……..Amiiin.
Wassalam,
Abu Izza Adduri
Thailand bukan hanya Gajah Putih dan pariwisata seks. Ramadhan
kemarin, H Agus Soetomo menjelajah wilayah selatan negeri itu,
beri’tikaf dari masjid ke masjid. Pimpinan Yayasan Putra Mulia, LSM
yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah di Jakarta ini
membagi ceritanya kepada Sahid.
Keberangkatan saya ke Thailand dalam rangka khuruj (keluar) di jalan
Allah. Maksudnya, waktu yang sengaja disempatkan untuk melakukan
dakwah secara langsung di lapangan. Orang sering menyebut mereka yang melakukan ini sebagai jamaah tabligh. Kami sendiri yang melakukannya
tidak merasa perlu memberinya nama apa-apa, karena inilah Islam,
dakwah yang diajarkan Rasulullah.

Kami berencana melakukan perjalanan selama 40 hari. Ada beberapa
pilihan waktu yang di-ijtihad-kan para ulama tabligh, bisa tiga hari
setiap satu bulan, empat puluh hari dalam satu tahun, dan empat bulan
dalam seumur hidup. Gerakan ini diprakarsai ulama-ulama di India
lebih dari 70 tahun yang lalu, pemimpinnya bernama almarhum Maulana
Muhammad Ilyas.
Semula rombongan kami berniat mengikuti pertemuan (ijtima’) besar di
Pattaya (kawasan pantai yang terkenal itu) yang diikuti puluhan ribu
orang dari berbagai negara. Namun karena sesuatu hal kami terlambat,
sehingga daerah tujuan kami adalah Yala (pusat tabligh) di Thailand,
letaknya sekitar 40 km dari Pattani, propinsi di bagian selatan
negeri itu yang mayoritas warganya muslim.
Kami berangkat dengan menggunakan jalur darat dan laut, melalui
Batam, Johor Bahru (Malaysia), terus naik bis ke Thailand. Dari
masjid markas di Kebon Jeruk Jakarta dalam satu rombongan kami yang
berjumlah 8 orang, ada yang berasal dari Surabaya, Jambi, Batam,
Bogor. Salah seorang di antaranya baru selesai khuruj selama empat
puluh hari di Jerman. Setibanya di Johor, ada seorang anak muda yang
hafidz Qur’an dari Thailand bergabung dengan rombongan kami, sehingga
berjumlah sembilan orang.
Selama dua puluh tujuh hari di Thailand, kami selalu tinggal
berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lainnya, bukannya di
hotel atau di rumah penduduk. Biasanya kami tinggal selama dua hari
dua malam di setiap masjid.
Kegiatan kami dari hari ke hari tiada lain dakwah, terutama
mendakwahi diri kita sendiri dengan melaksanakan langsung sunnah-
sunnah Nabi. Mulai dari yang kecil, seperti adab makan dan tidurnya
Nabi, sampai bagaimana Nabi bermasyarakat, bermusyawarah, berjual-
beli, dan mengembangkan empati sosialnya.
Di sinilah kunci penempaan diri sebagai muslim yang ditawarkan
kegiatan ini. Selama hidup kita ada ratusan kitab agama yang kita
baca, tetapi hanya sedikit yang benar-benar kita rasakan nikmat
pengamalannya.
Tetapi kalau kita khuruj beberapa hari saja, sedikit yang kita baca,
tapi ratusan sunnah Nabi kita kerjakan, dan langsung terasa nikmatnya
berIslam itu. Bahkan pada saat kita secara lisan mengajak orang hadir
ke masjid pun, sesungguhnya kita sedang mendakwahi diri kita sendiri.
Thomyam yang lezat
Selama kami melakukan dakwah, seperti halnya di Indonesia, tidak
semua masyarakat yang kami datangi tertarik dengan kegiatan ini. Hal
ini sudah biasa kami alami, dan ini justru menjadi pemicu semangat
kegiatan dakwah dan sarana introspeksi. Adapun materi yang menjadi
bahan kajian sehari-hari lebih banyak menyangkut amalan sunnah. Kami
tidak berbicara politik atau khilafiyah. Setiap hari kami melakukan
musyawarah. Biasanya dipimpin oleh amir (ketua rombongan).
Pembagian tugas diatur dan digilir, sehingga setiap anggota rombongan
merasakan semua kegiatan ini. Ada yang dapat bagian masak (khidmat),
ada yang bagian silaturrahmi (khususi), ada yang bagian ceramah
(bayan), ada pula yang khusus dzikir saja untuk mendoakan rombongan
yang bertugas mendatangi dari rumah ke rumah. Mereka yang ke lapangan
didampingi seorang petunjuk jalan (dalil), biasanya dari orang
setempat.
Beberapa kali saya ditunjuk jadi petugas khidmat, sehingga saya dapat
belajar pula memasak masakan khas Thailand, namanya Thomyam. Sayuran
dicampur dengan udang, ditambah jamur, bisa juga dicampur dengan
ayam, pedas-pedas sedikit, disiram air perasan jeruk. Lezat.
Kegiatan tabligh bukan saja di masjid, rumah-rumah, tapi juga di
pasar, di tempat-tempat orang berjudi, di tempat orang yang sering
mabuk-mabukan. Dalam berkomunikasi kami menggunakan bahasa Melayu,
dan sebagian Siam, tak ada kesulitan karena ada penerjemah.
Kegiatan tabligh di Thailand sudah berjalan cukup lama, sehingga
masyarakat tak aneh lagi menerima kehadiran kami. Kami sering
menyebutnya kaum muhajirin dan kaum anshar karena terasa sekali
jalinan tali ukhuwah yang luar biasa. Pelaksanaan ajaran Rasulullah
saw tentang bagaimana memuliakan tamu sangat terasa sekali. Kami
benar-benar mendapatkan perlakuan yang luar biasa. Segala sesuatunya
dilayani, segala kebutuhan dipenuhi.
Walaupun kami sendiri membawa perlengkapan masak, hampir-hampir tak
terpakai, karena setiap hari masyarakat sekitar masjid mengirim
makanan. Mereka yakin benar pada hadis Nabi, bahwa mukmin sejati itu
harus memuliakan tamu. Sungguhpun mereka tergolong masyarakat miskin.
Suatu kali kami bilang pada mereka, “Pak, sudah lah, tak usah repot
kirim-kirim makanan. Kami mau masak sendiri.” Apa jawab mereka sambil
tersenyum, “Emm, boleh, boleh. Kalian boleh masak sendiri, tapi
jangan tinggal di masjid kami.” Subhanallah.
Ada seorang ikhwan setempat yang begitu rajinnya melayani kami,
sampai-sampai kami rasakan, setiap malam, saat kami pergi tidur dia
masih mengaji Qur’an. Eh, waktu kami bangun untuk shalat tahajjud,
dia sedang shalat. Kapan tidurnya orang ini? Lebih mengejutkan lagi,
ternyata waktu kami tidur dia mengumpulkan pakaian kotor kami, lalu
dicucinya semua. Kami sampai mau menangis waktu akan berpisah dengan
dia.
Kehidupan masjid semakin semarak setelah kedatangan rombongan kami.
Berbagai kegiatan untuk tua maupun muda tampak beragam dan mereka
semakin bergairah. Masjid menjadi ramai. Tampak setiap pelaksanaan
shalat lima waktu, tak terkecuali shubuh, padat dikunjungi jamaah.
Mereka bukan saja dari penduduk setempat, melainkan dari penduduk
yang jauh.
Kami tidak khawatir masjid akan redup bahkan sepi dari kegiatan
dakwah setelah ditinggal, karena ada karkun, yaitu orang yang sudah
terlibat dengan kegiatan tabligh. Mereka yang bertanggungjawab untuk
menjaga dan meningkatkan kemakmuran masjid.
Sisa-sisa Romusha
Di Yala, sebuah kota yang kira-kira sebesar Bogor, sedang dibangun
sebuah masjid yang luasnya hampir sama dengan masjid Istiqlal di
Jakarta. Inilah markas mereka di Thailand. Luas bangunannya lebih
dari 1 hektar, sedangkan halamannya 7 hektar, terletak di tengah
kota.
Masjid ini mulai dibesarkan sejak dua tahun yang lalu dengan swadaya
masyarakat. Tidak hanya dana, tapi juga tenaga, mulai dari arsitek
sampai pekerja kasar, semua aktivis dakwah. Arsitek-arsiteknya
didatangkan dari India, sedangkan pekerja kasarnya silih-berganti
siapa saja yang sedang i’tikaf di kawasan itu.
Begitu kuatnya semangat mereka membangun sendiri markas dakwah itu,
sampai mereka berkali-kali menolak sumbangan dari Raja Thailand.
Karena sang raja ngotot, sumbangan itu diterima dalam bentuk jalan
beraspal sepanjang 300 meter dari jalan besar menuju masjid. Begitu
sampai pintu masuk, sumbangan itu dihentikan.
Setiap malam Jumat (malam markas) tidak kurang seribu jamaah yang
hadir di masjid ini. Mereka datang dari berbagai daerah, dan jadi
tempat persinggahan para jamaah tabligh dari berbagai negara sebelum
melanjutkan perjalanannya ke negara lain. Entah dananya dari mana,
meski begitu banyak orang yang berkumpul tak pernah terjadi
kekurangan makanan.
Pemerintah dan masyarakat umumnya simpati dengan kegiatan ini. Di
Yala sendiri, meski diperintah oleh orang-orang Budha, ummat Islam
sangat dihormati karena akhlaknya. Kita benar-benar seperti tinggal
di negeri muslim, dengan perempuan-perempuan yang menutup auratnya
secara baik.
Ada pula cerita jamaah lain ketika jajan di salah satu warung. Mereka
dibayari oleh tentara Thailand, karena simpati dengan kegiatan dakwah
ini. Menurutnya, negara akan aman kalau dijaga oleh tentara Tuhan
&emdash;sebutan mereka kepada jamaah tabligh.
Bahkan ada cerita yang saya dengar dari masyarakat Thailand sendiri,
bahwa Raja Bhumibol Adulyaded sempat marah ketika terjadi keributan
di acara Asian Games &emdash;saat pertandingan sepak bola Thailand
dan Qatar. Raja bilang, “Itu ribuan orang muslim di Yala berkumpul
tak pernah ada keributan. Ini mengatur 22 orang yang berebut bola
saja tidak bisa.”
Perkembangan agama Islam di negeri Gajah Putih sekarang ini ditopang
oleh generasi mudanya, di samping semaraknya kegiatan yang dilakukan
oleh jamaah tabligh. Diakui, mahasiswa muslim di berbagai perguruan
tinggi di ibu kota merupakan motor penggerak berbagai aktivitas
pengajian dan pengkajian nilai-nilai Islam termasuk di bidang
kemasyarakatan. Militansi mereka sangat menggelora. Keadaan demikian
tentunya semakin memperkokoh keberadaan ajaran Islam di negeri ini.
Dari perjalanan kami selama khuruj, ada hal yang menarik pula. Di
Kota Baru (perbatasan Malaysia dan Thailand) kami bertemu dengan
beberapa orang Indonesia bekas romusha. Mereka dibawa oleh Jepang ke
Thailand semasa pendudukannya di negara ini. Mereka bertahan hidup
dan menikah dengan masyarakat setempat.
Seperti yang saya temui, Abdurrahman (76) asal Jawa, Pak Su (74) asal
Madiun, dan beberapa lainnya dari Sumatra. Mereka sekarang aktif
berdakwah. Menurutnya, daerah perbatasan yang kotanya bernama Padang
Besar dulunya dikenal tempat maksiat, masjid sering dikunci, dan
halaman parkirnya dipakai kendaraan mereka yang bermain judi.
Alhamdulillah sekarang sudah ramai kegiatan keislaman. Tempat-tempat
maksiat yang berderet-deret seperti di kawasan Mangga Besar Jakarta
kini tutup dan terbengkalai seperti kota mati.
Sebagaimana sudah kita maklumi, agama resmi di negeri ini adalah
Budha yang dianut oleh lebih dari 95 persen penduduk, terutama di
kalangan orang Thai. Jumlah penduduk negeri itu kini diperkirakan 62
juta jiwa.
Di samping pemeluk Budha, ada muslimin yang kebanyakan tinggal di
Pattani, wilayah bagian selatan yang umumnya berasal dari kalangan
Melayu. Sedangkan Kristen, yang kebanyakan tinggal di bagian tengah,
umumnya berasal dari kalangan keturunan Cina. Suku-suku yang mendiami
daerah pegunungan sebagian besar masih menganut animisme.
Bangsa Thai berasal dari Cina Selatan, dan sejak abad ke-9 sudah
mendirikan beberapa kerajaan di negeri yang sekarang disebut
Thailand. Negara yang dijuluki “Gajah putih” ini adalah satu-satunya
negara Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah bangsa Eropa. Negara
berbentuk kerajaan konstitusional ini berbatasan dengan Kampuchea di
timur, Laos di utara, Malaysia di selatan, dan Myanmar di sebelah
barat.
Thailand adalah salah satu negara yang paling tinggi laju pertumbuhan
penduduknya. Di utara dan timur laut, pusat-pusat pemukiman penduduk
umumnya terletak di sekitar sungai. Sedang daerah yang jarang
penduduknya merupakan daerah hutan, bergunung-gunung, kering, tandus,
dan berawa-rawa.
Tak jauh berbeda dengan Indonesia, negara yang luas wilayahnya
513.115 km2 ini memiliki kekayaan alam yang sangat potensial.
Hutannya luas, di antaranya ditanami pohon jati dan rotan. Pertanian
masih memegang peranan utama di negeri ini. Padi, jagung, karet,
gula, ikan, kerang, adalah barang-barang yang diekspor ke berbagai
negara, di antaranya Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan
Malaysia.
Kekayaan yang melimpah lainnya adalah timah. Negeri ini merupakan
negara penghasil timah terbesar kelima di dunia. Selain timah,
mineral-mineral lain yang ditambang dari perut bumi dalam jumlah
besar adalah kapur, batu bara, dan bijih besi.
Selain itu, sekitar 80 persen dari seluruh penduduk Thailand adalah
orang Thai, yang terdiri atas orang Siam (53%) dan orang Lao (27%).
Bahasa resmi negeri ini adalah bahasa Thai, yang merupakan bahasa ibu
dari sekitar 80 persen penduduknya. Sebagai bahasa kedua menggunakan
bahasa Inggris. Namun sebagian penduduk masih menggunakan bahasa
ibunya, seperti bahasa Cina di kalangan orang Cina dan bahasa Melayu
di kalangan orang Melayu.
Yang menarik, di antara kelompok-kelompok minoritas, yang terbesar
adalah orang Cina, yang jumlahnya mencapai sekitar 12 persen dari
seluruh penduduk negeri ini. Adapun kelompok minoritas kedua terbesar
adalah orang Melayu (4%) yang mendiami propinsi-propinsi yang
berbatasan dengan Malaysia di selatan.
Seperti pada umumnya orang Cina di Indonesia, orang Cina di Thailand
hidup di pusat-pusat perdagangan dan industri. Sedang orang Melayu
lebih banyak di sektor pertanian dan mencari ikan.
Sebagai minoritas, keberadaan masyarakat muslim di negeri ini cukup
menggembirakan. Aktivitas syiar Islam berkembang dinamis dan
menggairahkan. Penyebaran masyarakat muslim di Thailand pada awalnya
pun dibawa oleh para penduduk dari wilayah selatan ini.
Secara administratif wilayah Pattani dibagi dalam empat propinsi,
yaitu Pattani, Satun, Narathiwat, dan Yala. Masyarakat muslim di
empat propinsi ini merupakan mayoritas. Bahasa sehari-harinya pun
bahasa Melayu.
Meskipun minoritas dan sering mendapatkan gangguan dari para
gerilyawan komunis, ummat Islam di Thailand tetap eksis dan bergairah
dalam mengembangkan keyakinannya. Terasa benar oleh kami, mereka
semakin berbesar hati bila dikunjungi saudara-saudaranya dari negeri
lain, seperti yang kami lakukan. Silaturrahmi memang sering membawa
berkah, terutama pada segi-segi yang jarang kita sadari.
Dadang Kusmayadi, wp

sumber : http://dalamdakwah.wordpress.com

0 comments:

 

Copyright © 2015 | created by Ahbab | abdulrahmanmalayu@gmail.com

Artikel dalam web Ini depersilahkan untuk di bagikan