Salah satu temenku yang baru lulus
master dari Australia ternyata sholat jamaahnya lebih aktif, jenggotnya
makin lebat….he…he… Kayaknya dia ngak terpengaruh suasana sekuler dan
hedonis negeri itu….apa rahasianya….Ini ada blog yg cukup
menarik….aktivibeg di sana….sekelumit cerita dari email ke email.
Wassalam,
Abu Izza Adduri
MELBOURNE SEMARAK OLEH TABLIGH
Islam bukanlah gejala baru di Australia. Masuknya Islam ke benua
Aborigin ini hanya berselang satu abad setelah datangnya orang-orang
Inggris pertama di abad ke-18. Jumlah ummat Islam di Australia
diperkirekan sekarang mencapai angka 300 ribuan. Dengan sejarah yang
panjang dan jumlah yang tidak lagi sedikit, wajarlah bila tingkat
keragamannya pun tinggi. Dari lapisan muslim yang masih taat dan aktif
berdakwah, sampai yang tinggal Islam KTP-nya saja ada.Bahkan, ada yang
menjawab salam pun sudah tak bisa.
WARNA BARU. Di tengah situasi itu, sejak awal tahun 1970-an, gerekan
jamaah tabligh menggoreskan warna baru dalam perkembangan peta ummat
Islam di Australia.
Setidaknya, sejauh pengamatan dan keterlibatan Sahid selama hampir 4
bulan di Australia, tabligh telah menjadi suatu gerekan dakwah yang
sangat dinamis sekarang dan di masa mendatang.
Dilahirkan di India, gerekan ini merupakan hasil ijtihad seorang ulama
bernama Maulana Ilyas, sekitar 70 tahun yang silam. Gagasannya
sederhana, namun sangat tajam dan efektif. Yaitu meluangkan waktu untuk
sepenuhnya berada di dalam atmosfir dien di masjid dalam waktu tertentu.
Targetnya, agar manusia makin faham akan tujuan penciptaan dirinya di
muka bumi. Sebuah persoalan yang sangat fundamental.
Sasaran sekunder, memindahkan suasana dien tadi dari masjid ke
lingkungan manapun di luar masjid, terutama ke rumah. Setiap orang
disarankan meluangkan waktu setidaknya dua jam sehari.Isinya berta’lim,
membaca hadits, mengaji Qur’an, dan berpikir mengenai bagaimana syiar
Islam. Lalu berjaulah, mengunjungi rumah-rumah ummat Islam di sekitar
masjid setidaknya seminggu sekali. Lebih jauh lagi, keluar di jalan
Allah setidaknya tiga hari dalam sebulan, empat puluh hari dalam
setahun, dan empat bulan dalam seumur hidup.
Kesan pertama dari penampilan fisik mereka yang memakai gamis atau
jubah, surban, dan memelihara janggut, memang merupakan sunnah-sunnah
yang sudah asing bagi kebanyakan ummat Islam. Tetapi aktivis tabligh
yakin, dengan niat yang ikhlas dan akhlak yang baik, kesan ‘asing’ itu
akan segera hilang.
Kini poros India-Pakistan-Bangladesh, tempat gerekan ini berbasis,
menjadi semacam base camp bagi para aktivis tabligh. Setiap orang
disarankan meluangkan empat bulan khuruj-nya ke tiga negara di Asia
Selatan tersebut. Kenapa harus ke sana? Zakaria, mahasiswa Charles Sturt
University yang juga seorang karkun (sebutan bagi aktivis tabligh;
bahasa India) menerangkan kepada Sahid, “India-Pakistan-Bangladesh bisa
diibaratkan sebagai centre of excellence sebagaimana Universibeg
Al-Azhar, Madinah, Harvard, Oxford, atau MIT bagi ilmu-ilmu.”
Aktivis tabligh didorong untuk berangkat ke sana agar kualibegnya
meningkat. Bedanya, kalau di universibeg dunia kita belajar ilmu, di
India-Pakistan-Bangladesh kita belajar amal akhirat, kata Zakaria. Awal
tahun ini, jaringan televisi kabel ternama CNN melaporkan ‘the second
biggest muslims gathering after hajj’ di Pakistan, yang tak lain adalah
ijtima’ jamaah tabligh ini untuk tingkat dunia. Sekitar dua juta orang
diperkirekan berkumpul pada saat itu.
DARI WAGGA KE MELBOURNE. Bagi kota-kota kecil seperti Wagga-Wagga,
tempat Sahid menetap, Melbourne sebagai markas telah menjadi semacam
India-Pakistan-Bangladesh-nya Australia.
Sore itu di awal Oktober, saya dan Raja Shahruddin, mahasiswa asal
Malaysia, berencana bergabung dengan markas jamaah tabligh di Melbourne.
Sebelum kami bertolak dari surau kampus, ada bayan hidayah (semacam
briefing) dari seorang brother di Wagga. Isinya yang utama ada tiga,
senantiasa meluruskan niat karena Allah; bahwa perjalanan ini untuk
memperbaiki kualibeg iman pada diri sendiri, baru yang berikutnya untuk
mengajak orang lain; dan terakhir, petunjuk-petunjuk teknis mengenai
hubungan dengan manusia lain.
Misalnya, agar menjaga mulut mengurangi percakapan tentang dunia selama
perjalanan. Agar memperbanyak dzikir dan doa karena orang yang ada di
jalan Allah doanya maqbul, dan yang semacamnya.
Lepas ashar kami bertolak diiringi doa. Perjalanan mobil Wagga-Melbourne
petang itu kami kebut lima jam. Berbeda dengan di Indonesia, jalan
bebas hambatan dari Albury, di perbabegan New South Wales dan Victoria,
ke Melbourne yang jaraknya 350 kilometer gratis. Tak ada bayar-bayaran
tol. Lansekap indah alam pedesaan, kerumunan domba, ladang gandum serba
luas, padang stepa dan bebukitan hijau permai New South Wales-Victoria,
ujung-ujungnya bertemu dengan layar langit yang biru sempurna. Semua
cuma bisa dinikmati sebentar. Hujan lebat dan gelapnya malam segera
menyergap Nissan Bluebird station milik Shah yang meluncur cepat.
Melbourne dingin malam itu, hampir seperti di saat winter. Trem-trem
listrik masih beringsut menyusuri jalan-jalan kota dan kawasan suburban.
Merkuri ribuan watt dan lampu-lampu kota meredam cahaya gemintang di
langit Kutub Selatan.
Hawa dingin tadi segera terusir oleh suasana hangat begitu kami memasuki
masjid Umar ben-Khattab, di Preston. Masjid waqaf pemerintah Arab Saudi
ini selesai dibangun enam tahun silam. Kini menjadi markas jamaah
tabligh di seluruh Melbourne dan Australia. Setiap Jum’at malam mereka
berkumpul dan beri’tikaf di sini. Sebuah kaligrafi kain ukuran besar
dengan warna lembut tergantung persis di abeg mihrab. Tulisannya, “Fabi
ayyi aalaa i rabbikumaa tukadzdzibaan, maka nikmat Tuhanmu yang mana
lagi yang hendak kau dustakan?”
PAKAIAN YANG SAMA. Di depan mihrab, seorang tua berjanggut putih dari
Srilanka sedang menyampaikan bayan (ceramah) dibantu seorang penerjemah.
Tak kurang dari dua ratus orang duduk rapat-rapat, tekun mendengarkan
ceramah itu.
Mereka berasal dari berbagai bangsa imigran seperti dari Asia Tenggara,
Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan banyak lagi termasuk
Australia sendiri. ‘Pakaian’ mereka semua sama; Islam. Masya Allah,
masya Allah! Rasanya seperti bukan di Melbourne. Rasanya seperti berada
di salah satu sudut masjid Nabawi, di Madinah Al-Munawwarah.
Usai shalat Isya’, makan malam bersama. Duduk berjajar, menunggu nampan
datang sambil berdoa, lalu makanan satu nampan di makan tiga atau empat
orang. Mulai sikap kepada makanan sampai cara duduk, semua mengikut
sunnah.
Tiba-tiba sebuah suara orang Jawa yang sangat medok mengagetkan saya.
“Anda dari Indonesia kan? Ini saya kasih tahu!” kata seorang lelaki
tersenyum, sambil menyodorkan sebuah nampan penuh dengan nasi dan sayur
tahu. Waduh, ini lidah saya sudah empat bulan tak ketemu tahu.
Alhamdulillah.
Sebelum tidur, ada pembacaan hayatush shahabah, kisah kehidupan para
sahabat Nabi, lalu ada kalkuzari, semacam laporan perjalanan. Malam itu
seorang brother keturunan Eritrea memberi laporan khuruj-nya dari
Kaledonia Baru, sebuah negara kepulauan di Pasifik Selatan.
Diceritakannya betapa masyarakat muslim di wilayah bekas jajahan Prancis
itu, yang terdiri dari keturunan India dan Jawa, telah jauh dari
Islamnya. Merasa senang akan kedatangan saudara-saudaranya dari
Melbourne, mereka minta lain kali didatangkan jamaah lagi.
Paginya, sehabis shubuh, seorang brother asal Bosnia yang lahir di
Australia memberikan bayan shubuh. Rupanya ia baru saja pulang dari
kampung ayah ibunya Bosnia-Herzegovina, memimpin sebuah jamaah tabligh
pertama yang datang setelah perang berhenti di kawasan Balkan.
LUPA DUNIA? Tapi apa betul para aktivis tabligh yang ‘selalu ingat mati’
ini melupakan kehidupan dunia? Tudingan ini hampir tak pernah
serta-merta mereka bantah dengan ucapan. Silakan dinilai sendiri.
Selama di masjid mereka tak pernah bicara bisnis. Tapi Mobil-mobil macam
Toyota Tarago station yang di Jakarta tergolong mewah, Toyota Cressida,
Honda Civic Genio dan merek-merek wah lainnya tiap Jum’at malam
nangkring di halaman masjid Preston. Itu saja bisa menunjukkan cita rasa
mereka pada teknologi maju, sejauh bisa difungsikan di jalan Allah.
Para karkun ini juga dikenal sebagai pekerja keras di bidangnya
masing-masing. Ada yang supir taksi, tukang kayu, juragan butchery
(rumah pemotongan hewan ternak), insinyur, birokrat, pedagang dan
lain-lain. Mahasiswa yang aktif dalam gerekan inipun, meski rata-rata
low profile, di kampus punya presbegi yang selalu bisa dibanggakan.
Abdul Razak, mahasiswa ilmu-ilmu sosial di Charles Sturt University,
merasa tak puas jika tugas-tugas yang dikerjakannya tak mendapat
predikat excellent. “Presbegi belajar juga bagian dari dakwah kita
kepada teman lain,” katanya merendah. Mereka dikenal mahasiswa yang
belajar dengan disiplin spartan. Di Wagga, beberapa mahasiswa yang aktif
bertabligh biasa mengorganisasi kegiatannya dengan telepon genggam yang
bukan lagi barang mewah.
Di Australia sendiri, sejak awal tahun 1970-an, gerekan ini berkembang
pesat hingga sekarang. Dipimpin oleh Syaikh Muhtaz asal Mesir, pusatnya
di Melbourne tidak lagi hanya mengarahkan sasaran dakwahnya ke
Melbourne, Sydney, Perth, Darwin, dan kota-kota di pulau Australia.
Tapi juga melebar ke kepulauan Pasifik Selatan, seperti Vanuatu, Samoa,
Fiji, Kaledonia Baru, ke China, Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara. Ini
terlihat dari pembicaraan yang berkembang dalam musyawarah bulanan yang
sempat Sahid ikuti.
Musyawarah ini berlangsung di kawasan Folkner, di pinggiran
Melbourne.Markas Tabligh Australia yang baru di kawasan ini adalah bekas
komplek sekolah dasar di abeg sebidang tanah seluas kira-kira 3 hektar.
Sehari-hari tempat ini dipakai untuk madrasah diniyah bagi anak-anak
para karkun. “Sedang diusahakan agar madrasah ini disamakan statusnya
dengan sekolah dasar umum,” jelas Ruslan, seorang karkun asal Malaysia.
Dalam musyawarah bulanan tadi, masing-masing pusat gerekan di Melbourne
memberikan laporan dan rencana-rencana kegiatan kepada Syaikh Muhtaz
dalam suatu forum terbuka. Lalu Amir Shaf -sebutan bagi pemimpin markas-
mengarahkan pembicaraan pada rencana dakwah ke luar Australia. Ada
beberapa kelebihan Australia dalam hal dakwah regional dan internasional
ini.
Pertama, para karkun Australia menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar utama, yang merupakan bahasa internasional.
Kedua, kebanyakan aktivis tabligh di Australia adalah keturunan kaum
imigran dari berbagai belahan dunia. Mereka akan menjadi pasukan dakwah
yang ‘kuat’ secara psikologis bila dikirimkan ke tanah kakek-neneknya.
Contohnya Lukman, 39, keturunan Italia bermata abu-abu yang lahir di
Australia. Kepada Sahid ia membagi pengalamannya baru-baru ini
ber-jaulah ke kampung ibu-bapaknya di kepulauan Sisilia, gudangnya mafia
dan gangster kelas kakap. Katanya, kini di seluruh Italia ada 200-an
masjid. “Kedatangan kami dari Australia disambut baik sebagai dukungan
moril yang kuat bagi berkembangnya Islam di Italia,” cerita Lukman
sambil tersenyum.
PERHATIAN PADA INDONESIA. Dalam musyawarah bulanan di Folkner itu,
Syaikh Muhtaz menekankan agar para karkun memberi perhatian khusus bagi
Indonesia.
Ia bercerita, bahwa Maulana Hadraji rahmatullah ‘alaih, pimpinan gerekan
tabligh sedunia yang baru wafat beberapa tahun lalu, bermalam-malam tak
bisa tidur setelah mendengar berita, bahwa musuh-musuh Islam berencana
meng-Kristen-kan Indonesia dalam waktu 50 tahun.
Di Australia sendiri, penampilan para aktivis tabligh yang rendah hati
dan menjauhkan diri dari soal-soal khilafiyah dan politik praktis, cukup
ampuh menyelesaikan berbagai ketidakharmonisan hubungan antar ummat
Islam. Pesan utama bayan atau ceramah para aktivis tabligh biasanya
berisi enam hal standar, yaitu tentang keutamaan kalimah tayyibah (Laa
ilaha illallaah, Muhammadan rasulullah); lalu membesarkan nama Allah
dengan shalat yang khusyu’; ilmu dan dzikir; ikram (memuliakan) sesama
muslimin; ikhlaskan niat; dan yang terakhir, tentang pentingnya setiap
individu muslim melakukan da’wah dan tabligh.
Menghindari soal khilafiyah dan siyasah (politik), memmembuatnya mudah
diterima oleh semua masyarakat. Rombongan jaulah yang saya dan Shah
ikuti adalah suatu contoh nyata.Dalam jaulah dua hari satu malam di
akhir minggu, kami bergabung dengan jamaah 8 orang yang mayoribeg
terdiri dari keturunan Bosnia.
Masjid yang dipilih untuk beri’tikaf adalah Masjid An-Nur milik
masyarakat Kroasia. Terletak di kawasan Maidstone, 15 tahun yang lalu
bangunan kayu itu adalah sebuah gereja yang dibeli menjadi masjid. Di
sebelahnya ada sebuah bangunan yang lebih kecil, Islamic Center-nya
masyarakat Kroasia. Sudah jadi rahasia umum, bahwa walau sesama muslim,
orang Kroasia cenderung tak bisa akur dengan orang Bosnia. Masjid
Kroasia yang berada di dekat pemukiman komunibeg Bosnia itu tak pernah
dikunjungi oleh orang Bosnia, kecuali orang Lebanon, Eriteria, dan
Somalia.
Sebaliknya, masyarakat Bosnia -yang dikenal berperangai halus- sendiri
akhirnya membangun masjid tak jauh dari kawasan itu. Keputusan ini
merupakan klimaks ketidakharmonisan hubungan itu. Ironisnya, belum
seratus persen masjid jadi, kaca-kacanya pecah berantakan diserang
beberapa orang Kroasia yang tak bertanggung jawab.
Cerita sedih ini tidak saya dapatkan dari brothers Bosnia yang sejamaah
dengan saya. Melainkan dari beberapa brothers tempatan asal Aljazair,
Fiji, dan Somalia.
Di hari kedua jaulah, brothers dari Bosnia ini lagi-lagi memilih sasaran
yang menantang. Yakni sebuah masjid milik masyarakat Turki yang dikenal
keras, tak mau menerima rombongan tabligh beri’tikaf di situ. Saya
kagum pada ghirah saudara-saudara Bosnia ini.
Pengalaman beberapa hari di Melbourne sangat mengesankan. Bertemu
masyarakat muslim yang ghirah-nya kuat dan masjid yang makmur memmembuat
saya tak merasa menyesal karena tak sempat ke The Great Ocean Road,
sebuah kawasan pantai tebing yang terkenal indahnya. Lokasinya 3 jam
dari Melbourne ke Adelaide, South Australia.
Dalam perjalanan pulang ke Wagga, saya melirik ke arah Shah. Di matanya
ada semangat baru yang segar, yang sudah tak sabar diguyurkan kepada
teman-temannya. Agar kota kecil Wagga-wagga semakin marak dengan
dakwahnya.
Melihat Muslim Beramal: Catatan Seorang Mahasiswa di Melbourne
Sekedar berbagi cerita. Minggu yang lalu saya berkesempatan berkunjung
ke Masjid Folkner yang berlokasi di kawasan pinggiran Melbourne sekitar
satu jam drive dari tempat dimana saya tinggal. Masjid ini dikenal
sebagai markaz kawan-kawan Jamaah Tabligh di sekitar Melbourne
Australia.
Sebenarnya sudah lama saya diajak dan (juga) berniat untuk berkunjung ke
masjid ini. Tapi karena berbagai sebab, saya belum juga bisa sampai ke
sana. Dan Jumat kemaren, Alhamdulillah akhirnya sampai juga saya ke
masjid yang cukup banyak dibicarekan oleh banyak Muslim di sini.
Kemaren di sinilah saya bisa menemukan hampir seribuan saudara muslim
dari beragam etnis dan kebangsaan berkumpul dalam kehangatan Ukhuwah
Islamiyah. Dan Bayan minggun kemaren disampaikan oleh seorang Syeikh
yang datang dari Arab Saudi.
Sementara seribuan jamaah lainnya dengan tenang dan khusyuk mendengarkan
bayan yang disampaikan dalam dua bahasa itu. Tak ada kegaduhan ketika
bayan disampaikan, kecuali desisan zikir beberapa jamaah merespon
beberapa topik yang disampaikan oleh sang Ustadz.
Sekalipun saya sudah mengenal aktifibeg Jamaah Tabligh cukup lama,
tepatnya semenjak hampir sepuluh tahun yang lalu ketika saya setengah
‘terpaksa’ ikut khuruj bersama aktifis JT di Padang saat menjadi
mahasiswa, saya tetap saja terpesona dengan suasana yang saya temukan di
masjid terbesar Melbourne ini.
Perjalanan kemaren memutar kembali memori saya pada suasana yang sama
sekitar beberapa tahun yang lalu, yaitu masa ketika saya juga pernah
merasakan kedamaian dakwah ala kawan-kawan Tabligh ini.
Bagi saya, suasana ini menjadi lebih berkesan karena di tengah
gemerlapnya kota Melbourne dengan kehidupan hedonisme dan
sekulerismenya, pelan tapi pasti melalui masjid ini cahaya Islam itu
dipantulkan.
Terlepas dari beberapa kritikan yang diarahkan pada metode dakwah Islam
ala Tabligh, adalah fakta bahwa secara kuantitatif, member dan
simpatisan JT bisa dikatakan paling banyak dan paling menonjol dalam
aktifibeg dakwah Islam di Australia.
Merekalah yang dengan sabar tanpa henti mengetuk pintu rumah setiap
muslim di sini setiap saat mengajak manusia kembali ke jalan Allah SWT.
Dan hampir bisa juga disimpulkan bahwa merekalah diantara jamaah setia
yang mebanyakkan berbagai masjid di Melbourne dan berbagai kota lainnya
di Australia.
Dakwah ala Tabligh sepertinya mendapatkan suasana yang ‘kondusif’ di
tengah masyarakat sekuler Aussie. Sekalipun secara global, kaum muslimin
tengah didera berbagai macam isu yang cendrung menyudutkan, seperti
terorisme dan sejenisnya, dakwah JT justru berkembang pesat.
Mungkin karena metode dakwahnya yang cenderung ‘apolitik’ dan terbukti
membawa kedamaian, para inteligen Australia sepertinya sudah paham betul
bahwa dakwah JT tak akan membahayakan keamanan dan integribeg negeri
Kangguru ini.
Bagaimanapun, dakwah Islam ala JT adalah sebuah fenomena gerekan Islam
abad modern ini. Tak bisa disangkal, bahwa melalui metode dakwah seperti
ini, tak terhitung jumlahnya orang-orang yang mendapatkan hidayah Allah
SWT.
Sudah puluhan ribu atau bahkan mungkin jutaan orang yang selama ini jauh
dari Islam, tapi kemudian alhamdulillah sekarang bisa kembali ke
pangkuan Islam. Dan dakwah itu sepertinya akan terus dan terus bergerak.
Besar dan semakin besar.
Sekalipun tidak langsung berhubungan, namun melihat fenomena membesarnya
dakwah Islam di Asutralia, yang salah satunya dilakukan oleh
kawan-kawan JT, bisa saja pernyataan kontroversial sang mantan mentri
Dona Vale saat debat tentang legalisasi aborsi di parlemen Austrlia
beberapa waktu yang lalu adalah benar adanya.
Bahwa 50 tahun lagi bukan tak mungkin Australia bakal menjadi negara
berpenduduk mayoribeg muslim. Bagaimana menurut kalian? Wallahu a’alam.
sumber : http://dalamdakwah.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Alhamdulillah n MashaALlah
Post a Comment