Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu, pada dasarnya adalah seruan
untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Disamping itu rasa malu
adalah ciri dari kebaikan yang senantiasa diingatkan oleh manusia.
Sehingga kebanyakan manusia menganggap ketika seseorang tidak memiliki
rasa malu adalah sebuah aib.
Rasa malu juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman, sebagaimana
sabda baginda Nabi SAW, “Al hayau minal iman”, Malu adalah bagian dari
keimanan (HR. Bukhari dan Muslim). Di haditsnya yang lain baginda Nabi
SAW juga bersabda,”rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. Sementara
kita juga memahami bahwa iman meliputi enampuluh cabang atau bagian, dan
malu menjadi salah satu diantaranya.
Secara historis pesan rasa malu sudah disampaikan oleh nabi-nabi
terdahulu jauh sebelum muhammad SAW. Hal ini dijelaskan dalam sabda
bagina Nabi SAW, “ inna mimma adrokannasu, sesungguhnya sebagian yang
masih diingat manusia, ming kalaminnubuwatil uulaa, dari ajaranpara
rasul terdahulu, idaa lam tastahyi fasna’maa sikta, Jika tidak malu
berbuatlah sesukamu (HR.Bukhari)
Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, jika merupakan pendorong
untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Hadits di atas
menjelaskan tiga poin penting yang harus kita pahami. Pertama, perintah
hadits ini menunjukan ancaman. Ketika orang yang berbuat sesuka dirinya
berarti Allah mengecapnya orang yang tidak punya rasa malu dan
bermasalah dalam keimanan. Perintah seperti ini juga terdapat dalam
Al-Qur’anul karim,
“berbuatlah sesuka hati kalian” (QS. Fushilat: 40)
Kedua, perintah dalam hadits di atas menunjukan pemberitahuan. Seolah
seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa
saja tanpa berfikir Allah ridho atau tidak. Poin ketiga dalam hadits di
atas Ibahah (dibolehkan). Artinya bahwa jika kita tidak malu untuk
melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syariatmaka
lakukanlah.
Dalam kontek Muslimah, kita memahami bahwa mereka juga senantiasa
dihiasi dengan rasa malu. Dalam Al-Qur’an diceritakan tentang salah satu
putri nabi Syu’aib yang diperintahkan untuk memanggil nabi Musa,
“kemudian datanglah kepada Musa salah satu dari kedua wanita itu,
berjalan dengan malu-malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil
kamu agar memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak)
kami” (QS. Al-Qashash: 25)
Saat itu puteri nabi Syu’ain as berjalan dengan penuh rasa iffah
(kebersihan jiwa) ketika bertemu dengan seorang laki-laki. Berjalan
dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatian.
Meskipun demikian, ia tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa
yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa malu yang bersumber
dari fitrah yang suci.
Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu
ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Akan tetapi karena
kesucian dan keistiqomahannya ia tidak gugup. Ia bicara dengan jelas dan
sebatas keperluan agar tidak terjadi fitnah.
Adapun wanita yang senantiasa bersolek, pergi tanpa muhrim, bahkan
bercampur baur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tanpa da keperluan
yang dibolehkan secara syariat, maka wanita seperti ini jelas bukan
didikan Al-Qur’an ataupun Islam. Mereka telah mengganti rasa malu dan
ketaatan kepada Allah SWT dengan rasa tidak malu, kemaksiatan, dan
berbagai perbuatan keji. Dengan demikian secara tidak langsung mereka
telah membantu terealisasinya keinginan musuh Allah untuk berbuat
kerusakan. Na’udubillah
Pada hakekatnya rasa malu pada diri seseorang wanita akanmembuahkan
Iffah (kesucian diri). Maka barang siapa yang memiliki rasa malu, hingga
dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga
kesucian dirinya. Rasa malu juga akan membuahkan sifat Wafa’ (selalu
menepati janji). Ahnaf Ibnu Qois berkata, “Dua hal yang tidak akan
berpadu dalam diri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan harga diri
akan melahirkan sifat shidiq (berkata benar), wafa’, malu dan Iffah”.
Allah SWT mengancam orang yang tidak memiliki rasa malu dan melakukan
kemaksiatan serta kejahatan dengan terang-terangan melalui ancaman yang
tak diampuni. Sebagai mana sabda bagind nabi SAW, “ Semua hambaku akan
dimaafkan, kecuali orang-orang yang melakukan kemaksiatan dengan
terang-terangan”. Orang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah
berarti ia tidak memiliki ketakutan akan azab Allah yang sangat pedih.
Dalam kontek kekinian, kita tetap memahami seorang Muslimah sebagai
sosok yang istimewa. Karena mereka yang nantinya akan mendampingi
laki-laki dalam menjalani kehidupan dan mendidik anak-anak dengan fitrah
kewanitaan yang masih bersih. Mereka di tuntut pula untuk memiliki
karakter keibuan dengan berbagai ketrampilan yang dimiliki. Mulai dari
melayani suami, merawat anak, memasak, menjahit, merawat rumah dan masih
banyak lainnya.
Pada hakikatnya wanita dituntut untuk tetap dalam fitrahnya melanyani
suami dan mendidik anak-anaknya. Bolehlah dia menjadi seorang guru, tapi
jangan lupakan ia sebagai seorang istri dan ibu anak-anaknya. Bolehlah
dia menjadi seorang dokter, tapi jangan meninggalkan perannya di rumah.
Bolehlah ia menjadi seorang aktifis, tapi jangan sampai menelantarkan
keluarga. Semuanya harus ditempatkan sesuai dengan porsinya
masing-masing.
Tak perlu malu ketika seorang wanita tidak bisa menjadi seorang guru,
menjadi dokter ataupun menjadi perawat dengan bekal ilmu pengetahuan
yang sudah di dapatkan. Akan tetapi malulah ketika seorang wanita tak
dapat menjalankan perannya sebagai seorang Istri bagi suaminya dan
seorang Ibu bagi anak-anaknya.
Dalam kontek pendidikan anak Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan
dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang
berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal
ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak
dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu
perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini
diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah.
Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa baginda Nabi SAW bersabda,
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung
jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami
dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak
seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun
bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari hadits di atas kita memahami bahwa pertumbuhan sebuah generasi
adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Karena ibulah yang
mengambil peran pertama kali pendidikan anak di dalam rumah. Ini adalah
tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah,
menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al
Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan
pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah
menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari
mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka
untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin,
tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain,
memaafkan, dan masih banyak lagi.
Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai
sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke
kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi
itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa
menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran
untuk membiasakannya. Semuanya itu hanya bisa dilakukan oleh seorang
wanita.
Sebagai refleksi bagaimana perasaan seorang ibu ketika melihat
anak-anaknya tumbuh dewasa. Ketika seorang ibu bertanya, “Nak, kalau
sudah besar pengin jadi apa? hati rasanyaharu dan mata ibu berkaca
ketika anak menjawab “Mau jadi ustad kayak Abi dan pengusaha sukses umi”
padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau jadi pemain band
atau pemain bola seperti Ronaldo”. Atau ketika ditanya ketika nanti
punya uang banyak mau diapakan, “Adek pengen buat peantren dan panti
asuhan umi” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala
ana-anak lain menjawab “Pengen beli rumah dan mobil mewah umi!
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Apakah bisa dilakukan oleh
seorang ayah saja? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten.
Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk
setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal
dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, jika seperti ini,
bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan
anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita, mulai dari
tanyangan TV, media dan lingkungan masyarakat yang semakintidak
kondusif. Siapa lagi kalau bukan engkau, wahai para ibu Muslimah atau
para Muslimah calon ibu?
Lebih malu mana engkau dicap orang yang tak terlampau sukses dalam
karier dibanding sebagai seorang ibu yang mendapati anaknya menonton
video porno dan kecanduan narkoba? Lebih bahagia mana engkau menjadi
wanita karier sukses dibanding engkau mendapati anak-anak tumbuh menjadi
pribadi yang berakhlak mulia? Hanya hati nuranimu yang bisa menjawab
semua itu.
Pada akhirnya semua dihadapkan bagaimana seorang Muslimah menempatkan
diri dan mengambil peran secara proporsional. Agar supaya ia tidak
melupakan tugas utamanya, akan tetapi juga bisa tetap berkaryauntuk
masyarakat. Dibutuhkan komitemen untuk menjaga keseimbangan itu.
Memastikan semuanya terkondisikan dan berjalan dengan baik setiap saat
dan setiap waktu. Suami dan anak-anak merasakan perhatian yang cukup
sementara pekerjaan di luar sana dapat terselesaikan dengan baik.
.....
Pada akhirnya semuaterserah padamu
Terserah jalan mana yang akan kau ambil
Hanya menjadi Muslimah ibu rumah tangga saja atau wanita karier saja
Atau engkau bisa mengambil dua-duanya
.....
Pilihan-pilihan itu mengandung kebaikan
Tapi ingat semua ada konsekwensi
Hanya orang-orang yang luar biasa yang bisa sukses dua-duanya
Hanya mereka yang teruji dan ditempa sebagai seorang ibu dan sebagai
wanita karier sejak awal
.....
Maka bagi engkau Muslimah yang hanya sibuk menempa kemampuan pekerjaanya
Bersiaplah engkau malu untuk gagal menjadi seorang ibu
Maka bagi engkau Muslimah yang sibuk menempa kemampuan pekerjaanya dan
sebagai seorang ibu
Bersiaplah engkau mendapatkan kebahagiaan yang hakiki
Karier yang sukses dan rumah tangga yang harmonis
.....
Sebelum semua terlambat
Sebelum engkau menyesal
Sebelum Engkau malu kepada Allah dengan rasul-Nya
KarenaGAGAL sebagai seorang IBU
.....
Semua lagi-lagi pilihan hidup
Terserah mana yang akankau pilih
Menjadi wanita Karier itubaik
Akan tetapi lebih baik menjadi seorang ibu dan berkarier
.....
Atau jika kau tak bisa memilih keduanya sekaligus
Cukuplah engkau menjadi seorang ibu
Seorang ibu yang mengabdi kepada suami
Seorang ibu yang mendidik anak-anakny adengan kelembuatan hati....
™Dakwah Maturoh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment